Ternyata ngopi bisa menjadi bagian dalam modus operandi dalam pembunuhan. Ngopi digunakan dan disalahgunakan (usus et abusus) untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Itulah yang terjadi pada kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Ia menjadi korban dalam gaya hidup ngopi atau kopdar (kopi darat). Tersangka utama atas kematian Mirna adalah sahabatnya sendiri, Jessica Kumala Wongso.
Cukup heboh media nasional memberitakan kasus pembunuhan tersebut. Ceritanya, Mirna meninggal setelah menikmati tegukan kopi pertama. Ternyata kopi tersebut berisi racun sianida yang katanya cukup untuk membunuh dua ekor gajah.
Memang adalah sebuah keanehan bila ada kopi berasa sianida. Kopi itu bukan lagi kopi ala Vietnam. Kopi justu menjadi alat bukti dalam kasus kematian. TKP-nya adalah Kafe Olivier, Jakarta.
Budaya “ngopi” di kafe adalah budaya masyarakat umum, bukan hanya masyarakat urban. Tujuannya adalah melepas kepenatan sekaligus berbagi cerita dengan konco-konco lama. Ngopi di kafe boleh jadi sebagai ajang “reuni”. Di tengah beban kerja yang padat dan hiruk-pikuk kota metropolitian, ngopi bareng menjadi kesempatan baik untuk melerai setiap gundukan beban yang menindih kehidupan. Artinya, “ngopi” di kafe menjadi kesempatan untuk melerai rigiditas kerja rutin yang cenderung membosankan.
Pada konteks kematian Mirna, “ngopi” di kafe justru memperpendek usia hidupnya. Dikatakan, kematian Mirna adalah dampak dari sebuah relasi yang dalam psikologi disebut dengan posesif-obesif. Hubungan seperti ini memang sering dijumpai pada setiap indivindu yang sedang menjalin relasi asmara. Bukan cuma pasangan LGBT, tetapi juga terjadi pada pasangan yang “normal” (lelaki-perempuan).
Kematian Mirna diduga akibat hubungan asmara sejenis. Bibit “virus” possesif-obesif tumbuh dalam relasi lesbian akut tersebut. Tidak ada yang salah dalam status hubungan tersebut. Hanya saja, tindakan pembunuhan yang diakibatkan oleh virus posesif-obesif itulah yang harus dipersoalkan.
Tindakah pembunuhan adalah tindakan kriminal yang pelakunya harus mendapat ganjaran yang pantas. Lantas, apakah pelakunya adalah seorang Mirna? Hal tersebut hanya patut diduga. Alat bukti dan hasil penyelidikan ada pada kepolisian Polda Metro Jaya. Mari kita percaya pada pihak kepolisian untuk mengusut tuntas semua persoalan itu.
Yang patut kita periksa adalah bagaimana mungkin seorang manusia tega membunuh manusia lain di tempat yang paling beradab-dalam hal ini sebuah kafe. Apakah nilai kemanusian sudah kian merosot sehingga manusia begitu gampang membunuh manusia yang lain?
Manusia mungkin telah berubah menjadi “serigala” bagi manusia yang lain. Homo homini lupus. Kebrigasan telah menghilangkan nilai kemanusiaan. Nurani kian tumpul. Penghargaan terhadap kehidupan telah mandul. Insting membunuh lebih kuat ketimbang naluri menghidupkan.
Dalam kehidupan yang semakin beradab, meski dengan alasan apa pun, manusia tidak dibenarkan membunuh manusia lain. Menghilangkan nyawa orang lain akan merusak tatanan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Manusia telah dikaruniakan akal sehat dan hati nurani. Oleh karena itu, harus ada sikap saling mencintai dan menghargai dalam persaudaraan. Sebab manusia sama dalam hak dan martabat. Hak hidup manusia harus dijunjung tinggi. Kebebasan manusia tidak berarti ia bebas membunuh manusia yang lain. Kebebasan itu adalah kebebasan menggunakan semua potensi yang ada pada manusia untuk menunjang kehidupan.
Mirna yang telah dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat telah dikhianati oleh kehidupan yang ia cintai. Ia hanya datang ke kafe untuk menikmati hidup yang ia cintai. Dihadapan racun sianida, ia tak kuat mempertahankan kehidupan. Orang lain telah tega menggunakan akal busuk kesetaran membunuh Mirna.
Mungkin kita tak pernah mengenal Mirna, tetapi kita perlu bersimpati pada kasus kematiannya. Atas rasa kemanusiaan, mari kita berdoa untuk keselamatn jiwanya. Itulah keadilan bagi ia yang telah meninggal. Sementara untuk keberadaban, sang pelaku pembunuhan harus mendapat hukuman yang setimpal. Siapa pun pelakukanya harus mendapat hukuman yang setimpal.
Jika saja Jessica, yang adalah sahabat almarhumah Mirna, bukan pelaku, maka ajakan ngopi bareng kepadanya tidak ada salahya juga. Ngopi itu bagian dari budaya yang beradab. Ngopi tidak membunuh, malainkan melanggengkan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan. Akhirnya, Jessica, ngopi yuk?
Ruteng, 2016
Alfred Tuname