Arzeti digrebek di hotel. Demikian kata berita. Informasi ini menjadi heboh sebab dia adalah seorang anggota dewan terhormat. Di hotel, dia bersama seorang petinggi TNI, Komandan Komando Distrik Militer Sidoarjo, Letnan Kolonel Rizky Indra Wijaya.
TKP-nya adalah Hotel Arjuna, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di hotel itu, sang “Arjuna dan Shinta” bersua. Semua itu terjadi pada 25 Oktober 2015. Ketika Arjuna dan Shinta bersua, maka mereka bukan lagi “bukan-satu”. Di situlah, preasumption of innocence berkembang. Mereka sedang berselingkuh.
Selingkuh memang tidak enak. Apalagi itu disaksikan (disoroti) banyak orang dan digrebek pula. Persoalannya adalah mereka itu petinggi publik. Di pundak Arzeti Bilbina ada aspirasi dan harapan rakyat. Tentu, sebab dia adalah wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada tongkat komando Letkol Rizky, ada kekuasaan sempurna untuk menjaga rakyat dan kewibawaan lembaga militer.
Tetapi apa boleh buat, libido tidak pernah memandang pangkat atau jabatan. Libido itu merangsek segala arah. Libido menawarkan “daya” untuk menerabas semua tanggung jawab dan kontrol yang melekat. Kita ingat Freud, libido was driving force behind all human behavior. Maka apa yang terjadi di hotel Arjuna adalah perilaku yang digerakan oleh magnitudo libido. Jamahan analisa psikoanalisa ini tentu tidak tundas, tetapi perilaku itu sudah bisa secara gamblang.
Perselingkuhan yang gamblang adalah sesuatu yang lazim jika itu didekatkan dengan kekuasaan. Pada cerita-cerita kerajaan yang kekuasaan sedemikian absolut, perkara selingkuh atau seks hanyalah cerita setelah makan siang dalam istana.
Tetapi di zaman yang kian modern dan terbuka, sesuatu yang dalam “istana” tidak dapat disembunyikan lagi. Apa yang terjadi dalam istana itu sudah menjadi bahan perbincangan publik di meja makan, saat makan pagi, siang pun malam. Maka yang terjadi dengan Arzeti dan Rizky, sudah menjadi konsumsi publik. “Arjuna dan Shinta” tidak bisa lepas dari tatapan tajam mata publik.
Apa yang terjadi pada Arzeti dan Rizky adalah sebuah forbidden pleasure. Sebab, dihadapan mahkama publik mereka telah diikat oleh aturan dan norma melekat dalam tanggung jawab mereka. Larangan dan taboo melekat pula dalam diri mereka. Sebab, mereka digaji dari pajak yang bayar rakyat. Tentu, soal pleasure adalah hak mereka, sejauh itu tidak melanggar larangan dan taboo.
Arzeti mungkin tidak mudah melepas identitasnya sebagai pesohor atau artis. Kecantikannya membawa luka dalam kurikulum politiknya. Itulah dilema artis yang menjadi politisi. Seakan tidak seratus persen artis, tidak seratus persen juga politisi. Semuanya setengah-setengah. Atau mungkin benar, artis hanya jadi pemanis dalam panggung politik. Akibatnya, tanggung jawab sebagai anggota dewan pun luntur jika panggilan sebagai artis lebih kuat.
Kecantikan dan kemolekan seringkali berandil begitu kuat dalam liang forbidden pleasure. Tentu hal ini tidak sepenuhnya benar. Tetapi unsur-unsur itu seringkali hadir dalam liang forbidden pleasure tersebut. Kita ingat cerita Eka Kurniawan dalam novel “Cantik Itu Luka”. Kecantikan dan kemolekan bertautan dengan kontruksi kekerasan dan kangkang aturan dan norma sosial ataupun institusi. Seorang tokoh bernama Dewi Ayu harus tergerus sisi kemanusiaanya karena dipaksa sebagai budak seks oleh tentara-tentara Jepang saat Perang Dunia II. Itulah luka kemanusiaan yang harus ia tanggung terus menerus.
Di hadapan kekuasaan, perempuan selalu tunduk terus-menerus. Kekuasaan berwatak ke-bapak-an yang membuat perempuan terluka. Karena itu, post et ante kejadian hotel Arjuna, Arzeti adalah korban. Ia korban kekuasaan. Ia korban panah kekuasaan sang “Arjuna”. Terus, sampai kapan hanya sebagai “the other” dalam superioritas laki-laki?.
“L’inferiorité feminine n’est pas naturalle mais construite socialement”, filsuf Simone Bouvoir mengingatkan kaumnya. Inferioritas kaum perempuan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan konstruksi sosial. Ah, mengapa juga Arzeti tidak memperjuangkan semua itu di Senayan?
Ruteng, 2015
Alfred Tuname