Our earth is on fire. Bumi kita sedang terbakar. Ada api sungguhan yang benar-benar menyala membakar bumi kita. Api membakar hutan. Pohon dan semak belukar menjadi abu. Hewan-hewan liar maupun jinak juga menjadi abu.
Asap tebal mengepul. Langit biru menjadi kelabu sebab asap tebal sudah menggantung di langit. Cuaca kering-kerontang, tak ada hujan. Awal sudah berganti gumpalan asap. Gumpalan asap tebal itu bergentayangan ke mana-mana, terbawa angin ke segala arah.
Itu terjadi di tanah Sumatera dan Kalimantan. Masyarakatnya kini menderita sakit. Gangguan pernafasan dan sakit hati. Kepungan asap di tengah-tengah kota membuat masyarakat sesak nafas. Sakit ispa terjadi di mana-mana. Tetapi mereka tidak berdaya. Mereka tidak bisa melawan.
Mereka juga sakit hati. Mereka sakit hati lantaran kegratilan tangan-tangan orang tertentu membuat masyarakat banyak menanggung akibat. Karena keserakahan segelintir orang, berbagai lapisan masyarakat harus menderita. Di tanah itu,tidak ada seorang pun yang luput dari derita yang disebabkan oleh asap tebal.
Tidak seorang pula yang mengaku membakar hutan. Tidak seorang pun yang mau bertanggung jawab. Penguasa lalu datang menduga kebakaran itu disebabkan oleh para perokok yang membuat puntung sembarangan. Sejak dulu, para perokok selalu mendapat dakwaan negative atas kebakaran hutan. Celaka memang, satu puntung rokok bisa membakar seluruh hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Ternyata, pengusasa memang senang mencari “kambing hitam”. Para perokok adalah kambing hitam yang empuk. Kebakaran berkenaan dengan api, perokok bermain dengan api. Jadi, tanpa penelitian yang ilmiah, perokok langsung dituduh sebagai pembakar hutan.
Tuduhan itu berhasil mempengaruhi perspetif publik. Antipati publik terhadap perokok semakin datang bertubi-tubi. Padahal, para perokok sedang asik di rumahnya, minum kopi, baca buku dan menulis berbagai esai tentang lingkungan hidup. Perokok tidak membakar hutan. Perokok justru menghangatkan pikirannya yang beku untuk mendapatkan idea-idea bernas untuk kesejahteraan umum.
Ternyata, penguasa sedang melakukan muslihat. Kebakaran hutan terjadi karena ketidakmampuan penguasa menjaga hutang dan lingkungan. Boleh jadi, kebakaran hutan yang masal bermula dari laku penguasa yang korup dan nepotis.
Ada “unholy marriage” antara penguasa dan pengusaha di hutan. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha terjadi di hutan untuk menimbun keuntungan dan kekayaan pribadi. Ada aliran dana yang besar untuk pengusaha. Ada areal hutan yang luas untuk pengusaha. Dana besar itu digunakan untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus untuk “membuka” hutan. Tidak hanya itu, dana besar itu juga digunakan untuk menutup “mulut-mulut” yang terlalu keras memberitakan kebakaran hutan tersebut.
Sementara, luas hutan akan manfaatkan untuk kepentingan pengusaha. Setelah hutan terbakar, luas lahan itu digunakan untuk membangun perkebunan kelapa sawit yang sedang booming di pasar internasional. Permintaan akan minyak sedang tinggi, harganya sedang naik. Oleh karena itu, persediaannya harus ditambah sehingga mencapai break event point. Tentu, keuntungan besar akan dinikmati oleh pengusaha dan korporasi-korporasi besar, korporasi internasional.
Di balik kepulan asap tebal Sumatera dan Kalimantan ada pengusaha besar dan korporasi-korporasi internasional. Hutan Sumatera dan Kalimantan tidak terbakar, tetapi dibakar oleh orang-orang yang mencari profit besar di balik kentalnya minyak kelapa sawit.
Pemerintah dan penguasa kita memang unik sekaligus munafik. Rakyatnya diajarkan tentang lingkungan hidup. Pikiran-pikiran rakyat dicangkoki dengan pimikiran-pemikiran ekologis dan sesuatu yang berkelanjutan. Mereka juga memproduksi kebijakan-kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Ternyata, pembangunan kita justru mandek. Pembangunan yang mandek juga tidak “memproduksi” masyarakat yang transformatif. Semua berjalan di tempat. Sebab, perubahan telah di-block oleh kepentingan jangka pendek penguasa dan profit para pengusaha. Mereka mengambil bagian dalam memperebutkan hasil bumi.
Lalu siapakah yang membakar bumi nusantara? Bukan warga nusantara, tetapi warga negara asing yang menggunakan kaki-kaki tangan warga nusantara untuk kepentingan dan profit mereka sendiri. Seperti zaman kolonial Belanda, warga nusantara dibeli untuk menjadi algojo dan pembakar buminya sendiri. Setelahnya, masyarakat asli diusir dari tanahnya dan lantas menjadi pekerja dan buruk di ladang sawit milik korrporasi asing tersebut.
Tetapi warga nusantara mendapat dampratan dari pemimpin mereka sendiri dan negara-negara tentangga. Iklim yang sensitif membuat guncangan di berbagai belahan dunia. Hutan Sumatera dan Kalimantan terbakar membuat warga dunia sesak nafas. Negara Malaysia, Singapura dan Brunei protes. Warga dunia di belahan Eropa cemas. Panas bumi peningkat. Es kutup mencair. Badai dan banjir mengguncang dataran. Tidak ada satu pun negara yang terbebas dari bencana tersebut. Semua mengalami musibah akibat ketidakseimbangan iklim dan becana lingkungan hidup.
Di tengah keserakahan manusia, hidup memang tidak selalu aman. Sementara kelompok-kelompok pro lingkungan hidup mendapatkan berkah di balik bencana lingkungan. Setiap ketidakseimbangan ekosistem berarti timbunan dana. Sebab, aksi pro lingkungan hidup bukan akan kesadaran akan keselamatan lingkungan hidup melainkan atas keselamatan “dompet” sendiri dan asap dapur.
Berharap pada siapa pun tidak akan berhasil menyelamatkan bumi dari kehancurannya. Setiap usaha kecil untuk menyelamatkan bumi harus juga disertai niat besar. Kebijakan pro lingkungan hidup harus juga disertai dengan kemauan politis yang tulus. Selebihnya, harus ada sanksi yang super berat bagi siapa saja yang melakukan pengrusakan terhadap lingkungan hidup.
Hutan Sumatera dan Kalimantan sudah terbakar. Nasib ekosistem dan penghuninya sudah terkapar. Masyarakat terlempar jauh ke lembah derita akibat kehancuran lingkungan. Manusia adalah bagian inti dari alam. Apa yang terjadi dengan alam, akan berakibat pula pada manusia. Menjaga dan melindungi alam adalah perintah moral dan etis bagi manusia. Tindakan etis dan moral itu merupakan fundamental promise akan kelangsungan hidup manusia itu sendiri dan kerberlangsungan kelestarian alam. Harmoni di bumi hanya akan terjadi manakala manusianya berjanji untuk terus menjaga dan melindungi alam sebagai habitat hidupnya.
Ruteng, 2015