suluhnusa.com_Di lokasi Ground Zero, Monumen Bom Bali, korban dan keluarga korban menyalakan dua lilin besar dikelilingi puluhan lilin kecil, 12 Oktober 2012. Di kolam yang terletak di bawah nama-nama korban, mereka menaburi bunga sebagai bentuk duka. Sementara di altar monumen tampak puluhan karangan bunga, dupa, tangkai mawar dan berbagai material sesajen lainnya sesuai tradisi agama Hindu.
Meski kontroversi, peringatan bom Bali I tetap digelar. Pemerintah Australia melarang digelarnya kembali peringatan itu setelah peringatan satu dekade yang dipusatkan di GWK 12 Oktober 2012 silam.
Meski melarang, namun Konjen Australia tetap menggelar acara peringatan bom Bali I. Belum lama ini, usai menghadiri KTT APEC, Perdana Menteri Australia, Tony Abbot mengunjungi monumen bom Bali pada 9 Oktober lalu. Pada kesempatan itu Tony Abbot menyampaikan jika Australia tetap akan memberikan bantuan kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Menanggapi hal itu, relawan kemanusiaan bom Bali, Haji Bambang mengatakan, peringatan harus dilakukan secara perorangan. “Jangan sampai mengerahkan massa. Jangan sampai membuat trauma terus berkepanjangan,” pesan dia.
Untuk tahun 2013, Rangkaian acara digelar sangat sederhana. Tak ada isak tangis dalam peringatan tahun ini. Setelah salah satu staf dari Yayasan Dewata yang mensponsori para keluarga korban menyampaikan kata sambutan, acara dilanjukan dengan tabur bunga dan pembacaan doa oleh anak korban bernama Limna Rarasanti.
Puluhan keluarga korban bom Bali I yang didominasi perempuan dan anak-anak mengenang peristiwa kelam itu di Ground Zero. Monumen peringatan bom Bali I yang dibangun dibekas areal Paddy’s Cafe sore menjelang malam didatangi keluarga korban. Tahun ini peringatan bom Bali I memasuki tahun ke-11. Meski peringatan bom Bali dihentikan saat peringatan ke-10 tahun lalu, namun keluarga korban tak bisa melupakan begitu saja haru biru ditinggalkan keluarga mereka akibat ledakan bom dahsyat yang menewaskan 202 orang itu.
Rarasanti mengatakan, saat peristiwa itu mengguncang, ia tengah duduk di bangku kelas VI SD di kawasan Renon, Denpasar. Saat itu ia sama sekali tak mengetahui jika ayahnya menjadi salah satu korban tewas ledakan bom maha dahsyat tersebut. “Saya tidak tahu kalau ayah telah tiada. Yang saya tahu saya melihat keluarga berkumpul, ibu menangis. Esok harinya, ayah yang biasa pulang jam 07.00 WITA sebelum saya berangkat ke sekolah, tenyata tidak juga tampak,” jelas dia sedih.
Ayah Rarasanti adalah Made Sujana. Ia salah satu korban tewas dari 202 korban. Wayan Rasmi, ibu Rarasanti mengisahkan hal sama. Suaminya yang menjadi tulang punggung keluarga pergi untuk selamanya. Kala itu, Rasmi belum mengetahui jika suami tewas. Seminggu setelah peristiwa, ia didatangi petugas RSUP Sanglah dan perwakilan Pemerintah Australia. Mereka meminta pakaian bekas yang pernah dipakai suaminya. Pakaian itu akan digunakan untuk tes DNA. Dua minggu setelah itu, ia menerima kantung mayat berisi tulang belulang suaminya. “Suami saya pergi kerja dengan pakaian rapi, lalu hilang beberapa lama. Kemudian, dia pulang hanya tulang belulang,” tutur Rasmi dengan suara berat.
Rahmi menangis sejadi-jadinya. Ia tak terima dengan kenyataan tersebut. Ia marah. Namun, ia pada akhirnya menerima kenyataan. Kini Rasmi menjadi tulang punggung untuk tiga anaknya yang masih kecil-kecil. (sandro wangak)