suluhnusa.com_Tanggal 12 Oktober sebelas tahun lalu, tepatnya 12 Oktober 2002, dua buah bom meledak di Bali. Bom pertama meledak di Paddys Café, termasuk berdaya ledak rendah (low explosive), dan disusul kemudian dengan ledakan bom berkekuatan sangat tinggi (high explosive) di Sari Club, Kuta. Saat itu pemerintah Bush tengah gencar-gencarnya merekrut negara-negara lain, salah satunya Indonesia, agar mau bergabung dengan AS dalam perang melawan terorisme.
Malam 12 Oktober 2002, mungkin menjadi salah satu malam yang tidak akan terlupakan dalam hidup Nick Burgoyne. Nick adalah fotografer dan penulis asal Teeside, Inggris, yang tinggal di Bali. Seperti hari lain di Bali, menjelang tengah malam, pusat hiburan dan keramaian mulai dipadati pengunjung. Suara musik mengalun keras dari bar dan cafe yang ada di pinggir jalan, termasuk di kawasan Jalan Legian. Legian adalah salah satu tempat favorit turis di Bali. Di sini terdapat banyak bar, restoran, dan hotel. Dua pusat hiburan yang terkenal di sana adalah Sari Club dan Paddy’s Pub. Saat itu, Nick bersama seorang temannya baru saja pulang dari Legian menuju tempat tinggalnya.
Di tempat lain, Tim Britten, petugas polisi federal Australia, tengah bersantai di kamar hotelnya di Kuta. Tim datang ke Kuta untuk berlibur setelah bertugas beberapa waktu di Timor Leste sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB. Saat itu, Tim hanya mengenakan t-shirt dan celana pendek.
Tidak jauh dari sana, Richard Poore, kameramen dari TV Selandia Baru baru saja kembali ke hotelnya, lebih kurang 500 meter dari Paddy’s Pub. Richard dan isterinya datang ke Kuta untuk berlibur. “Dua puluh menit sebelum kejadian, kami masih berada di dalam restoran,” aku Richard. “Karena semua tempat penuh, kami memutuskan tidak jadi masuk malam itu.”
23:05
Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terdengar dari arah Jalan Legian. Seketika, sebuah asap tebal bercampur api membumbung ke angkasa. “Saya mendengar ledakan di Kuta pukul 11 malam,” terang Nick. “Awalnya terdengar seperti guntur, tapi tanpa diikuti gemuruh. Listrik langsung mati seketika. Saat itu saya baru saja kembali dari Legian, kira-kira 3 km jaraknya.” Sadar ada bom, Nick segera mengambil kamera digitalnya dan kembali ke Jalan Legian.
Pada saat bersamaan, Tim Britten yang mendengar suara ledakan langsung berlari ke arah Paddy’s Pub. Jarak dari hotelnya ke tempat itu sekitar 800 meter. Richard yang juga mendengar ledakan yang sama segera mengambil kamera TV-nya dan bergegas ke Jalan Legian.
“Kami baru saja kembali ke hotel, saat terjadi suara ledakan,” kata Richard. Jendela kamar hotelnya pecah, bagian atap paling atas hilang. Richard tiba di lokasi peledakan selang beberapa menit setelah kejadian. “Saya tidak pernah melihat hal seperti ini,” ucapnya. “Sangat menakutkan. Sari Club terbakar, begitu juga dengan klub di seberangnya. Beberapa mobil di pinggir jalan juga terbakar. Orang-orang berlarian. Saya melihat tiga atau empat mayat. Ada juga potongan anggota badan. Sebuah pemandangan yang mengerikan. Saya tidak pernah melihat begitu banyak orang mengalami luka bakar yang parah. Benar-benar dahsyat.”
Bom Bali Pertama meledak pada 12 Oktober 2002 pukul 23:05. Isa alias Feri masuk ke Paddy’s Pub dan langsung meledakkan bom yang ada di dalam rompinya. Lima belas detik kemudian, saat orang-orang di pub berlarian keluar, Arnasan alias Jimi meledakkan mobil Mitsubishi L-300 yang diparkir di depan Sari Club. Kerusakan yang terjadi sangat parah. Gedung-gedung di sepanjang jalan dekat lokasi ledakan hingga radius 1 km rusak berat. Sebuah lubang sedalam satu meter terbentuk di pusat ledakan. Jumlah korban tewas 202 orang, 164 di antaranya merupakan warga asing dari 24 negara, sedangkan 38 lainnya warga Indonesia. Korban luka 209 orang.
Tim yang masih mengenakan t-shirt dan celana pendek tiba di Sari Club saat api masih besar. Ketika melihat ada perempuan yang terperangkap di reruntuhan, Tim segera masuk ke dalam tanpa mempedulikan suara tabung gas yang terus meledak. Panas luar biasa memaksa Tim keluar dan meminta tolong Richard Joyes yang saat itu juga tengah mencari temannya. Setelah menyiram tubuh masing-masing dengan air, keduanya kembali masuk ke dalam dan menolong seorang wanita yang tertimpa reruntuhan. Tanpa mempedulikan tangannya yang mulai terbakar, Tim berhasil menolong wanita tersebut keluar. Selama beberapa jam, keduanya mengangkat orang-orang yang terluka ke atas mobil. Tim tetap berada di sana sampai semua yang terluka dibawa ke rumah sakit.
Nick sendiri tiba di depan Paddy’s Pub pukul 00.30 pagi. “Saya melihat lubang besar di jalan dekat Sari Club. Wakil Kepala Kepolisian Denpasar mengatakan kepada saya bahwa mobil pembawa bom kemungkinan besar diparkir di sana. Dari pinggir jalan saya bisa melihat dengan jelas tumpukan mayat. Bau daging yang terbakar membuat nafas sesak; asap tebal terlihat dimana-mana.” Saat itu polisi, ambulans dan petugas pemadam kebakaran sudah bertebaran di lokasi. “Ketika kami sedang menonton,” lanjut Nick, “suara ledakan kembali terdengar. Kemungkinan dari tabung gas, membuat keadaan semakin mencekam.”
Pukul 03:00, mayat-mayat yang ada di dalam Sari Club dan Paddy’s Pub mulai bisa dikeluarkan. Menurut Bambang Agus Priyanto, saksi mata lain yang turut mengevakuasi korban luka dan tewas, keadaannya sungguh mengerikan. “Banyak kulit yang terkelupas, anggota badan yang tidak lengkap, dan kepala yang hilang,” terangnya. Bambang adalah salah seorang relawan lokal yang datang sesaat setelah kejadian. Tidak terhitung jumlah korban luka yang berhasil ditolongnya.
Nick yang menyadari ada banyak orang terluka memutuskan pergi ke RS Sanglah keesokan harinya. “Saya membawa sejumlah obat penahan sakit dari apotik setempat.” Selama di rumah sakit, Nick membantu dokter dan perawat menangani para korban. Di sana ia bertemu Dr Pria dan Dr Vij. Keduanya berasal dari Australia dan tengah berlibur di Bali. “Awalnya saya hanya membantu sebagai penterjemah, tapi lama-kelamaan saya ikut merawat korban luka,” lanjutnya. “Untungnya, Dr Vij adalah dokter bedah plastik dengan spesialisasi luka bakar! Saya bekerja sepanjang hari bersama mereka. Bagi saya, Dr Vij dan Dr Pria adalah pahlawan hari itu.”
Setelah melakukan penyelidikan hampir sebulan penuh, pada 2 November 2002, Kepolisian Indonesia dan Australia mengumumkan telah menyelesaikan investigasi mereka. Petunjuk penting yang mengungkap tersangka adalah nomor rangka mobil pembawa bom. Amrozy ditangkap pada tanggal 5 November. Polisi merahasiakannya selama dua hari untuk mencegah tersangka lain melarikan diri. Di rumah Amrozy, petugas menemukan pentunjuk penting lain: ponsel miliknya. Melalui penelusuran percakapan Amrozi, petugas berhasil menangkap sejumlah tersangka lain, seperti Ali Imron, Mukhlas (Ali Gufron), dan Imam Samudra. hitungan minggu dan bulan. Para tersangka mulai diadili pada 12 Mei 2003, dimulai dari Amrozy. Tanggal 7 Agustus, Amrozy diputus bersalah dan dihukum mati. Imam Samudra dan Mukhlas juga diganjar hukuman mati pada 10 September dan 2 Oktober. Ali Imron, yang berjasa mengungkat misteri di balik Bom Bali, dijatuhi hukuman seumur hidup pada 18 September. Meskipun semuanya telah berkekuatan hukum tetap, ketiga pelaku yang telah dijatuhi hukuman mati tersebut sampai sekarang masih belum dieksekusi.
Nick Burgoyne sendiri kini masih tinggal di Bali bersama dengan kamera digitalnya. Tim Britten dan Richard Joyes diganjar medali keberanian Cross Valor oleh Pemerintah Australia pada 17 Oktober 2003. Mereka adalah orang ketiga dan keempat yang menerima penghargaan itu. Richard Poore dan istrinya, Gilana Poore, dianugerahi Medal of the Order of Australia pada 2005 dan 2006. Bambang Agus Priyanto, salah seorang yang berjasa mengevakuasi korban, belum lama diundang Sekjen PBB Ban Ki Mon ke New York. Ia diminta berbicara tentang pengalamannya membantu korban bom pada 8 dan 9 September 2008. Selanjutnya, pada tanggal 11 September, Bambang diajak berkunjung ke bekas lokasi World Trade Center.
Sebelumnya, pada bulan Januari 2008, Tim Britten, polisi Australia yang heroik menyelamatkan korban Bom Bali, memutuskan untuk melelang medali penghargaannya. “Medali ini mengingatkan saya pada banyak kenangan buruk saat sedang mengangkut para korban luka dari klub yang hancur,” katanya. Di dalam katalog yang disediakan panitia lelang disebutkan, “Tim memutuskan untuk melupakan masa lalu dan mulai mengarahkan pandangannya pada masa depan yang lebih cerah.(Sandro Wangak/sumber wawancara dengan Bambang Agus Priyanto, 11 Oktober 2013)