Pendidikan Lembata Antara Makan Gratis dan Baca Gratis

Beranda » Catatan » Pendidikan Lembata Antara Makan Gratis dan Baca Gratis
Suluhnusa.com

Bantu kami berkembang sekaligus memasarkan usaha Anda. Sekecil apapun bantuan Anda, sangat kami hargai.

Catatan : Rian Odel


LEWOLEBA – Makan Gratis – saya lebih suka gunakan frasa makan gratis daripada Makan Bergizi Gratis – telah menyasar beberapa sekolah di Lembata. Aneka perspektif mulai muncul, khususnya amat nampak pada dunia medsos. Pada prinsipnya banyak orang mendukung program makan gratis di Lembata walaupun tak pernah ada data bahwa anak-anak sekolah di Kabupaten ini kelaparan massal atau tidak makan di rumah sebelum ke sekolah. Dari nirdata ini, menurut saya, program ini sesungguhnya tidak relevan untuk Lembata.

Maka, aksi demo damai para pelajar di Yahukimo, Papua, adalah salah satu ekspresi kritis yang sebenarnya dan seharusnya bisa dilakukan di Lembata. Tidak relevan lainnya, ketika Fasilitator dari Badan Gizi Nasional Kabupaten Lembata menginformasikan bahwa petani Lembata tidak bisa memasok pisang. Konsekuensinya, pisang harus didatangkan dari luar Lembata.Atau dengan kata lain, Lembata harus kasih uang ke orang Adonara supaya anak sekolah bisa makan gratis.  Lagi-lagi banyak orang protes karena fakta di lapangan berbeda dengan informasi yang disampaikan melalui suluhnusa beberapa waktu lalu.

Pangan lokal yang diharapkan bertumbuh lagi di Lembata melalui kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal dan Magang mahasiswa rupanya tidak mendapat tempat dalam program ini.

Fenomena lain lagi muncul. Suluhnusa menampilkan berita menu makan gratis basi. Beragam tanggapan pun heboh dimana-mana. Namun, kita juga menyaksikan betapa bangganya para pelajar dan guru-guru menyambut program makan gratis ini. Namanya juga makan gratis, siapa yang tidak senang? Orang makan sambil foto dan senyum-senyum.

 

Tidak Mendukung Pendidikan

Tan Malaka pernah bilang, kita harus lebih banyak membaca dan bila perlu makanan dan pakaian dikurangi. Harapan Tan Malaka ini berbeda dengan harapan Prabowo Subianto melalui program nasional makan gratis . Sabda elit yang sangat kuat ini akan memengaruhi juga cara berpikir kita di sekolah-sekolah bahwa makan di sekolah adalah sesuatu yang lebih penting walaupun tidak relevan.

Mengapa kita tidak berpikir kritis seperti para pelajar di Yahukimo yang melakukan demo damai menolak makan gratis? Apakah sekolah-sekolah di Lembata lebih membutuhkan makanan gratis daripada buku gratis atau sekolah gratis? Pertanyaan ini sangat penting untuk kita refleksikan. Walaupun sebagai sebuah program nasional, setiap lembaga pendidikan tidak boleh membisu dan terima begitu saja. Mesti ada pemikiran kritis yang harus disampaikan sesuai dengan kebutuhan di sekolah. Sebab demikianlah kesejatian dari pendidikan. Kita sekolah supaya kita tidak tinggal dalam kegelapan pengetahuan. Atau dengan kata yang lebih sederhana, sekolah bukan warung.

Menurut data dari floresa, tingkat literasi di Lembata masih sedang. Pada tahun 2024, tingkat literasi di Lembata masih kategori sedang; untuk SD 65,42 %, SMP 68,81 %, SMA 70 % dan SMK 69%.

Tentu salah satu faktornya adalah budaya membaca di sekolah-sekolah kita masih sangat minim. Anak-anak akan lebih semangat ke kantin sekolah daripada ke Perpustakaan Sekolah, ditambah lagi perpustakaan sekolah hanya menyediakan buku-buku mata pelajaran.

Kita mengapresiasi kerja-kerja dari dinas Perpusatakaan Lembata untuk meningkatkan literasi di sekolah. Namun, kerja dari Dinas terkait mesti didukung dengan edukasi masif dan rutin agar sekolah tidak dijadikan warung untuk makan gratis lalu melupakan buku-buku. Tentu harapan seperti ini sangat melangit dan tidak mungkin menabrak program nasional.

Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan ini, sekolah dan Pemerintah Daerah mesti sepakat bahwa Lembata sesungguhnya membutuhkan pendidikan gratis atau buku bacaan gratis bukan makan gratis. Sebab dari menu yang disiapkan, kita mungkin lebih sepakat bahwa makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak di rumah lebih bergizi daripada nasi satu genggam, pisang, sayur yang amat sedikit dan puding basi. Kita harus jujur katakan itu, walaupun mungkin kapasitas kita untuk menyampaikannya amat terbatas.

Oleh karena itu, untuk mendukung pendidikan, sekolah dan Pemerintah mesti mengontrol betul kualitas makanan yang disiapkan oleh para penyedia. Penekanannya adalah tak boleh ada makanan basi!

Para guru di sekolah mesti juga menjelaskan bahwa di sekolah, hal yang sangat penting adalah membaca buku bukan ke kantin sekolah atau makan gratis sehingga cara berpikir anak-anak tidak keliru tentang manfaat dari sekolah. Dengan giat membaca anak-anak memiliki wawasan luas dan mampu berpikir kritis seperti Goris Keraf, nama Perpustakan elit di kota Lewoleba.

Bukan hanya para pelajar, kita semua, para guru juga mesti giat membaca, para ASN, DPRD, politisi dan juga Bupati Lembata harus mulai membudidayakan semangat baca di Lembata. Kantor-kantor kerja harus juga memiliki perpustakaan masing-masing agar Lembata tidak tertinggal literasi. Goris keraf, Alex Beding dan orang-orang hebat yang lahir dari rahim Lembata, latar belakang mereka adalah para pembaca buku yang setia bukan ribut karena makan puding.

Jika semangat membaca buku tidak menjadi prioritas, kita hanya akan memelihara budaya gosip di sekolah, budaya baku caci maki di media sosial dan tidak mampu berpikir kritis tentang Lembata. Ayo makan gratis tapi jangan lupa membaca.+++

Rian Odel-Ketua Komunitas Pandu Budaya Lembata

Share your love
Suluh Nusa
Suluh Nusa

bagaimana engkau bisa belajar berenang dan menyelam, sementara engkau masih berada di atas tempat tidur.?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *