
SULUH NUSA, LEMBATA – Dalam politik tidak ada yang kebetulan. Semua yang terjadi di hadapan publik di masa kampanye adalah settingan. Tulisan ini bermaksud untuk merespon viralitas yang saya beri judul “raja botak dari Kedang”. Tentang foto dan video gotongan warga terhadap Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kanisius Tuaq dan Nasir Laode (Tunas). Jepretan kamera berupa foto dan video yang kini ramai menjadi buah bibir politik itu menggambarkan kedua politisi tersebut dipikul oleh masyarakat pendukungnya masuk ke desa Kalikur.
Tentu saja, gotongan itu bermaksud politik. Tim sukses Tunas sepertinya secara simbolik berupaya menunjukkan dua hal secara sekaligus. Pertama tentu saja klaim kemenangan sebelum 27 November 2024. Kedua, mereka sedang memberikan penghormatan kepada Leu Aliur. Pendukung Tunas berhenti di depan Atu’ Kota Leu Aliur. Atu’ Kota adalah istilah untuk batasan pusat kampung (leu) Aliur.
Tim yang mendesign model kampanye pamungkas Paket Tunas rupayanya cukup memahami konteks dan konten. Mereka benar-benar memahami politik sebagai etika dan politik sebagai konten. Sebagai konten, calon Bupati Kanisius Tuaq dan Wakil Bupati Nasir Laode dipikul dari arah desa Normal dan berhenti di depan Atu’ Kota Leu Aliur (batas pemukiman kampung Kalikur).
Sebagai konteks, menurunkan gotongan di depan Atu’ Kota adalah sebuah cerminan konten politik yang memahami konteks. Mereka paham akan masuk di pusat kampung Kalikur yang sakral nan bersejarah sebagai lokasi kampanyenya. Dulu, mendiang Eliyaser Yentji Sunur, oleh para designer politiknya, melakakukan hal yang sama sebagai konten politik. Namun perbedaannya adalah, kala itu aspek konteks disingkirkan.
Orang-orang di belakang mendiang Eliaser Yentji Sunur Bupati dua periode itu kebablasan memainkan konten. Orang-orang berdebat di media sosial. Perdebatan mereka juga adalah perdebatan politik. Ada yang secara tendensius menyerang, ada juga mencoba membela. Tapi ada yang justru melihatnya dengan lebih objektif.
Pada tahap ini, Tunas berhasil menggeser perhatian dan fokus publik ke arahnya. Strategi politik yang cerdas saat mata dan telinga rakyat Lembata semakin selektif menilai potensi kemenangan 6 (enam) kandidat Paslon Cabup dan Cawabup yang ada. Perhatian publik berubah 90 derajat. Tidak ada lagi cerita tentang Lembata Jaya, bahkan Tol Gas yang pada waktu bersamaan sedang melaksanakan kampanye akbar di lokasi ex Harnus Lewoleba.
Sebelum hari pencoblosan, politik memang berkutat pada soal klaim kemenangan. Semua tentu masih dapat berubah. Bahkan satu jam sebelum pemilihan. Karena itu pertanyaan pentingnya adalah siapa yang akan menang di tanggal 27 November nanti? Sebagai orang yang tidak berafiliasi dengan Paslon mana pun, saya cukup tertarik menjawab pertanyaan ini dengan analisa sederhana.
Untuk memulai analisa ini, saya membuat kategorisasi sebagai berikut. Pertama, pemilih di Lembata adalah pemilih tradisional. Pemilih tradisional berarti pemilih yang memilih karena alasan tradisional. Kategori pemilih ini akan melihat aspek religiusitas dan etnisitas. Mereka memilih karena persamaan keyakinan dan asal-usul. Kedua, adalah pemilih yang menjatuhkan pilihan pada yang berpotensi menang.
Karakter pemilih yang seperti ini sangat terpengaruh oleh psikologi publik dan isu. Mereka akan menjatuhkan pilihan politiknya pada kandidat yang dianggap berpotensi akan memenangkan pertarungan. Dari dua kategori pemilih dan formasi politik ke enam kandidat saya melihat peluang kemenangan ada di dua Paslon.
Pertama tentu saja Thomas Ola dan Gans Huarnoning (Tol Gas). Tol Gas cukup punya peluang karena satu-satunya figur dari Ile Ape yang maju sebagai calon Bupati adalah Thomas Ola. Ketunggal Thomas Ola sebagai Ile Ape membuatnya cukup digdaya berpasangan dengan Gans Huarnoning putra selatan yang kharismatik. Yang juga punya peluang menang adalah Paslon Tunas.
Kanisius Tuaq, birokrat Kedang seorang Katolik dan pasangannya Nasir Laode, politisi dan pebisnis Lewoleba yang beragama Islam. Keduanya terlihat begitu padu dan punya daya magnetik. Dianggap sebagai simbol persatuan pesisir dan pedalaman. Bukan hanya masyarakat Kedang tapi juga seluruh masyarakat Lembata.
Politik adalah seni mengelola kemungkinan menjadi kemenangan untuk kesejahteraan bersama. Semua peluang masih bisa terjadi. Dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Sebagai penutup, siapapun yang menang, persatuan dan keadilan sosial harus jadi semangat utama memimpin Lembata.
Lembata Helero!
***Orang Lembata Yang Sedang Merantau