SULUH NUSA, LEMBATA – MASYARAKAT Pemilik lahan di Desa Nubaheraka, Kecamatan Atadei meminta pihak PT PLN Persero Unit Pelaksana Proyek (UPP) Nusra III untuk untuk mengganti untung atas tanah lahan dan tanaman yang menjadi lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Atadei. Ganti untung yang diminta oleh 18 (delapan belas) pemilik lahan itu tertuang dalam surat yang disampaikan kepada PT. PLN beeberapa waktu lalu. Mereka meminta lahan 1.9 hektar yang akan dipakai untuk kepentingan pembangunan PLTP Atadei dibeli dengan harga Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) per meter.
Akibatnya, saat PT. PLN menetapkan harga satuan tanah tidak sesuai permintaan, warga pemilik lahan langsung menolak sekalipun penetapan itu sesuai dengan aturan dan rekomendasi dari KJPP seluas 1.9 hektar dengan total biaya pembebasan Rp. 3.5 milyar.
Warga Desa Nubahaeraka di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menolak penetapan harga satuan tanah yang ditetapkan PT PLN Persero Unit Pelaksana Proyek (UPP) Nusra III untuk kepentingan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Atadei.
Penolakan ini dilakukan lantaran PT PLN Persero UPP Nusra III menetapkan harga per meter tanah di kisaran Rp 150 ribu sampai Rp 165 ribu per meter persegi. Pemilik lahan menilai harga ini jauh di bawah permintaan mereka yakni di kisaran Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta per meter persegi.
Penolakan ini dilakukan saat PT PLN Persero UPP Nusra III mengumumkan penetapan harga satuan tanah dalam diskusi yang digelar di kantor Desa Nubahaeraka pada Sabtu, 02 November 2024.
Penetapan harga satuan tanah ini ditentukan oleh PT PLN Persero UPP Nusra III berdasarkan perhitungan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk PT PLN.
Paul Keraf salah seorang pemilik lahan mengatakan, pihak PT PLN mengabaikan pengajuan harga yang telah disampaikan oleh kelompok masyarakat yang tanahnya masuk dalam rencana pengembangan PLTP dengan kapasitas 2 x 5 megawatt ini.
“Kami selama ini begitu pro aktif untuk semua kegiatan yang dilakukan oleh PLN. Dan sampai segala keluh kesah kami, kami sampaikan. Semua pemilik lahan. Saya harus sampaikan bahwa hari ini bukan aji mumpung bagi kami, tapi kami harus memikirkan penghidupan kami besok lusa,” ujar Paul.
Ia mengatakan pihak PLN lupa bahwa salah satu aspek yang pernah mereka sampaikan di forum-forum sebelumnya tentang tanah di mana sebagai tempat mereka mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari, juga biaya pendidikan anak-anak mereka.
“Sehinga aspek-aspek yang menjadi kajian dalam menentukan harga ini juga kan harus mendengar kami masyarakat juga. Jangan kami harus mendengar dari atas. Itu namanya intimidasi. Dan itu saya pastikan saya lawan!” kata Paul memberikan penegasan.
Pada prinsipnya, Paul bersama seluruh masyarakat di Desa Nubahaeraka mendukung program strategis nasional transisi energi ke energi baru terbarukan ini.
“Tapi hari ini kami sangat kecewa dengan harga yang kami ajukan. Intinya kami dukung. Kami tidak sampai pasang spanduk (penolakan) kok! aman kami di sini. Kami sudah berpikir besar untuk bagaimana membangun Lewotana Lembata,” kata Paul.
Pemilik lahan lainnya, Kletus Waleng, mengatakan, dalam sejarah tidak pernah warga di wilayah adat ini bernani menjual tanah. Namun dengan pertimbangan mendukung pembangunan di Kabupaten Lembata, mereka rela menjual tanah yang menjadi warisan dari leluhur mereka.
“Lahan ini adalah warisan nenek moyang, sehingga dari dulu kami tidak ada niat untuk menjual. Kalau kami jual itu seperti halnya kami putus hubungan dengan nenek moyang. Sehingga paling tidak ganti rugi ini juga kami gunakan untuk mengenang mereka,” kata Kletus.
“Paling tidak misalkan kami beli lahan baru supaya ceritanya tetap nyambung. Terus PLN beli ini kan digunakan untuk bisnis. Pemberian harga untuk bisnis kan pasti berbesa dengan pembelian yang biasa. Lahan ini kan selama ini dipakai untuk bercocok tanam, bukan lahan tidur sehingga paling tidak ada perhitungan-perhitungan awal,” katanya.
PT PLN Persero UPP Nusra III membutuhkan lahan seluas 4,4 hektar untuk pembangunan PLTP Atadei. Total luas lahan ini dibagi menjadi dua yakni tapak pengeboran di wilayah kebun rakyat Desa Nubahaeraka seluas 1,9 hektar, dan di wilayah sekitar dapur alam Watuwawer Desa Atakore seluas 2,5 hektar.
Selain penolakan pembangunan PLTP Atadei karena alasan kerusakan lingkungan, hingga saat ini proses pembebasan lahan masih berjalan alot untuk wilayah dua desa ini.
Musyawarah penetapan harga satuan tanah in dipimpin langsung Camat Atadei, Marianus Demoor.
Dalam arahannya, Marianus mengimbau agar perbedaan pandangan soal harga tanah antara pemilik lahan dan pihak PT PLN Persero UPP Nusra III tidak menimbulkan polemik baru di masyarakat.
“Di ruang ini kita berdiskusi untuk menyamakan persepsi terkait harga satuan lahan. Sehingga sama-sama tidak dirugikan. Kita sama-sama berdiskusi mencari solusi dan kiranya kita bersepakat untuk menentukan harga satuannya seperti apa,” kata Marianus.
PT PLN Sebut Harga Satuan Tanah untuk PLTP Atadei Sudah Maksimal Sesuai Harga Pasar
Ketua Tim Perizinan dan Pertanahan PT PLN Persero UPP Nusra III, Tri Satya Putra Pamungkas, mengatakan, penentuan nilai tanah oleh KJPP berdasarkan beberapa hal di antaranya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), posisi tanah dan tanaman yang ada di kawasan tanah dan survei harga tanah.
Hal ini dikatakan Tri, menanggapi penolakan sebagian besar pemilik lahan di Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei terhadap pengumuman penetapan harga satuan tanah oleh PLN Persero UPP Nusra III dalam musyawarah yang digelar di kantor Desa Nubahaeraka, Sabtu, 02 November 2024.
“Tentunya kami PLN juga tidak merugikan tidak mematikan dalam tanda kutip tadi. Kami berdasarkan penilaian dari tim apraisal yang sudah melalukan survei tersebut kemudian kami sampaikan ini ke bapa mama semua,” kata Tri.
“Jadi harga yang disampaikan tadi sudah berdasarkan asas kebermanfaatan,” lanjutnya.
Untuk diketahui, sebagian besar warga menolak penetapan harga satuan tanah di kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 165 ribu per meter persegi, yang jauh di bawah permintaan pemilik lahan yakni di kisaran Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta per meter persegi.
Tri berharap masyarakat dua desa yakni Nubahaeraka dan Atakore terbuka dengan penetapan harga satuan berdasarkan penghitungan tim apraisal.
Pasalnya, selain membayar ganti rugi lahan sesuai ketetuan, pihak PLN juga akan memberikan sejumlah benefit kepada masyarakat lembata jika PLTP Atadei berhasil dibangun.
Satu di antaranya adalah bonus produksi kepada Pemda Lembata dan pemerintah desa di dua desa ini saat PLTP dengan daya 2 x 5 megawatt ini mulai beroperasi.
“Tentunya dulu di sosialisasi juga sudah disampaikan bagaimana PLN itu akan berkontribusi kepada Pemda (Lembata, red) melalui bonus produksinya di PLTP ini melalui pembayaran PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak, red) dan juga pembayaran bonus produksi ke Pemda dan juga ke pemerintah (desa, red) dan juga masyarakat secara ring satu di proyeknya. Itu nanti mekanismenya kan setelah itu berproduksi,” kata Tri.
Tri bahkan menyebut, penetapan harga satuan tanah di Desa Nubahaeraka jauh di atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di wilayah desa ini yakni di kisaran Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu rupiah per meter.
Di balik penolakan warga ini, Tri menegaskan bahwa Pihak PT PLN selalu terbuka untuk memberikan infomasi publik dan melakukan komunikasi intens dengan semua pihak terkait sepeeti Pemda, Camat, Kepala Desa Nubahaeraka dan Atakore, serta masyarakat pemilik lahan.
Perwakilan KJPP Irfan dan Rekan, Asep Maulana, mengatakan, proses penilaian yang dilakukan oleh KJPP bertujuan agar proses pembebasan lahan untuk kepentingan umum tidak merugikan kedua belah pihak yakni negara dalam hal ini diwakili BUMN PT PLN dan warga pemilik lahan.
Ia menjelaskan salah satu elemen penilaian harga satuan tanah untuk kepentingan umum adalah harga pasar tanah di sekitar lokasi lahan yang hendak dibebaskan.
“Aturannya memang begitu. Jadi harganya pingin naik, kalau saya salah menilai, bapak-bapak bisa menyertakan bukti-bukti adanya transaksi di sini gitu. Itu saya bisa, laporannya itu bisa saya adendum karena ada alasanya. Kami mengerjakan pekerjaan sesuai dengan aturan-aturan yang ada,” kata Asep.
Menurut laporan PT PLN Persero UPP Nusra III, sebanyak 18 berkas tanah di Desa Nubahaeraka yang hendak dibebaskan untuk tapak pengeboran PLTP di desa ini. Sementara itu di Desa Atakore, sebanyak 45 berkas tanah yang hendak dibebaskan.
PT PLN Persero UPP Nusra III membutuhkan lahan seluas 4,4 hektar untuk pembangunan PLTP Atadei. Total luas lahan ini dibagi menjadi dua yakni tapak pengeboran di wilayah kebun rakyat Desa Nubahaeraka seluas 1,9 hektar, dan di wilayah sekitar dapur alam Watuwawer Desa Atakore seluas 2,5 hektar. Untuk biaya pembebasan lahan 1.9 hektar di Desa Nubaheraka PLN sudah menyiapkan anggaran Rp. 3.5 milyar. +++sandro.wangak