suluhnusa.com_Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerjasama dengan Pulse Lab Jakarta, Knowledge Sector Initiative dan UNDP Innovation Facility menyelenggarakan konferensi “Inovasi Data untuk Pengambil Kebijakan” di Nusa Dua Bali, Rabu (26/11).
“Kami percaya adanya kesempatan yang sangat berarti untuk melakukan inovasi dalam proses mengumpulkan, menganalisa dan memvisualisasikan data bagi perumusan kebijakan. Contohnya dengan membuka data untuk umum serta melibatkan masyarakat dalam menganalisa data sektor publik seperti yang telah kami lakukan dalam hackathon dan big data (pulse lab Jakarta). Kami memperoleh wawasan-wawasan serta menciptakan solusi baru dalam memecahkan masalah yang sukar ditangani,” kata Kepala Bappenas Andrinof Caniago di Nusa Dua, Rabu 26 Nopember 2014.
Pada tahun 2012, pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan PBB melalui Global Pulse meresmikan Pulse lab Jakarta, sebuah laboratorium pertama di Asia yang mengeksplorasi penerapan sumber data digital serta analisa real-time dalam menjawab tantangan pembangunan.
“Revolusi data harus kita respon dengan langkah inovatif membawa banyak perubahan dalam pembuatan kebijakan perbandingan masa lalu, policy maker, akademisi, dulu harus mencuri sistim data karena data itu tertutup dan maaf kadang-kadang birokrat atau anggota dewan terlalu berlebihan dalam memprotect data, padahal data sngat penting untuk perbaikan pelayanan publik maka dulu saya pernah curi data,” paparnya.
Karena kurang akuratnya data maka kebijakan jadi banyak yang cacat dan tidak berkualitas, imbuhnya. Sejak tahun 90an perubahan dimulai dari tingkat global, cairnya barat dan timur, kemudian merembet ke Indonesia, yang kemudian memasuki gelombang demokratisasi good governence. Perkembangan pesat di teknologi dan inovasi kita dapatkan dengan segala kekurangannya.
“Pelimpahan data, perpustakaan hampir sama dengan luasnya dunia, kemudahan dari perubahan, kita bisa cari dalam tempo sekejap dan ini membantu para peneliti, akademisi, policy maker untuk membuat data yang akurat, lebih presisi, tentunya ada konsekuensi yang berkaitan dengan norma, etika tapi Indonesia sudah mengantisipasi dengan UU ITE,” tandasnya.
Karena itu para masyarakat khususnya policy maker diharapkan harus melek terhadap internet. Karena dari data yang ada di jejaring sosial bisa digunakan sebagai proyeksi prediksi data ini.
“Kita diperkaya dengan data yang namanya reel time data atau big data, kita bisa mengkonfirmasi persepsi yang muncul, kelompok di setiap wilayah, disamping berkah ada hal yang harus kita kelola dengan baik, mengelola kekurangan sifat data reel tim, akurasi, kecocokan tidak bisa kita dapatkan, dalam tahapan pembuatan kebijakan itu berguna,” ujarnya.
Karena itu sangat disayangkan kalau policy maker dan staf yang ada tidak bisa memanfaatkan data baik yang reel time data ataupun big data.
Dicontohkannya, negara khususnya pemerintah Indonesia memiliki berbagai sumber data, seperti BPS, Pusdatin dan di Bapenas dikonsolidasikan supaya lebih optimal.
“Contohnya, data reel time yang ada di lalu lintas yang muncul ditwitter itu kan ada data reel time nya dan yang program PT.Jasa marga di Direktorat Jenderal Lalu Lintas progam itu mengalir dari sana dan masyarakat diminta untuk efektif agar bisa diolah demi pembangunan pelayanan publik,” tandasnya.(kresia)