suluhnusa.com_Para peserta pelatihan Management and Leadership of Tobacco Control yang pesertanya dari beberapa negara di Asia seperti Indonesia, Kamboja, Nepal dan India menyesalkan pernyataan dari pemerintah Indonesia yang belum juga meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Sebagai negara Islam terbesar di dunia, Indonesia sebenarnya sudah memiliki posisi tawar yang kuat untuk meratifikasi FCTC. Diduga kuat belum diratifikasinya FCTC itu oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena ada deal-deal dan lobi-lobi dari industri rokok di Indonesia agar SBY tidak menandatangani ratifikasi tersebut.
Sekretaris Kabinet, Dipo Alam beberapa waktu lalu menyatakan di media. Sampai saat ini Perpres tersebut belum diterima. Dengan begitu penandatanganan belum bisa dilakukan.
“Jadi memang pada saat ini, ratifikasi FCTC belum kami terima. Kami sedang menunggu,” jelasnya kala itu.
Dipo mengatakan untuk meratifikasi FCTC memerlukan banyak pertimbangan. Selain memperhatikan nasib petani tembakau, pemerintah juga memperhatikan pemasukan senilai Rp110 triliun yang dihasilkan dari cukai tembakau. Belum lagi total penerimaan negara Rp150 triliun dari PPH dan pajak daerah.
Menurutnya, belum diratifikasinya FCTC oleh SBY karena mempertimbangkan berbagai aspek antara lain, petani tembakau dan petani cengkeh diberikan kemampuan teknis agar mampu bertahan dari segi ekonomi, selain itu SBY juga mempertimbangkan aspek sosial dan aspek ekonomi.
Atas statmen Dipo di media-media nasional itu, Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah menyatakan jika statement Sekretarias Kabinet Dipo Alam soal belum diratifikasinya pemerintah Indonesia FCTC itu sangat menyesatkan.
“Dipo memberikan alasan yang sangat menyesatkan dan secara logika tidak bisa diterima. Jangan menggunakan alasan demi petani tembakau dan cukai rokok, maka presiden SBY belum bisa tanda tangan ratifikasi FCTC, sebab tidak semua petani tembakau hidup sejahtera,” jelasnya di hotel Grand Inna Kuta, Bali, Jumat (14/3.
Hery menilai justru dengan tidak diratifikasinya FCTC penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp 110 triliun. Atas dasar itulah, menurut Hery yang menyesatkan karena angka tersebut tidak sebanding dengan kerugian kesehatan yang diderita masyarakat terutama pada perokok pasif seperti anak-anak dan wanita hamil. Karena sudah banyak penelitian jika korban paparan asap rokok adalah mematikan.
Agar diketahui, dari 177 negara yang tergabung dalam FCTC ada empat negara yang belum meratifikasi FCTC yaitu Indonesia, Somalia, Zimbabwe dan Amerika Serikat.
“Sebagai negara Islam dan anggota OKI, Indonesia harusnya malu dengan negara lainnya yang sudah meratifikasi FCTC,” jelas Ayu Swandewi, Ketua Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Bali.
Dianita Sugiyo dari Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengungkapkan jika hasil penelitian yang dilakukan oleh MTCC terhadap para petani tembakau di beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan, tidak ada petani tembakau yang sejahtera, atau pun hidupnya di atas rata-rata.
“Mereka umumnya ada di desa, lahannya tidak luas dan pendapatan mereka juga berada di bawah rata-rata. Belum lagi mereka harus menghadapi tantangan alam atau cuaca karena bila terjadi hujan sedikit pun, maka tembakau akan rusak,”ungkapnya.
Masa tanam tembakau sangat cepat, selain cepat rusak akibat terkena hujan. Harga tembakau juga tidak bisa tinggi, karena sudah dimonopoli oleh tengkulak tembakau.
Apabila pabrik memberikan harga tembakau berkisar Rp10 ribu per kilogram, maka harga dari tengkulak hanya dberikan Rp7.500 per kilogram. Ia menyetujui jika pernyataan Dipo itu sesat karena tidak terbukti di lapangan. Anehnya, industri rokok berkembangan pesat di Indonesia tetapi diduga kuat atau patut diduga jika bahan bakunya diimport dari luar. “Kami menduga, dengan belum ditandatanganinya ratifikasi FCTC tersebut, yang dibela itu kepentingan petani atau kepentingan industri. Jangan sampai masyarakat menjadi bingung dengan pernyataan yang menyesatkan tersebut,”tutupnya.
Sementara itu, Dr. Khun Sokrin wakil dari negara Kamboja mengaku jika negaranya sudah meratifikasi FCTC sejak tahun 2005. Dampak dari diratifikasinya FCTC menurutnya sangat positif selain jumlah perokok aktif berkurang, kini para petani tembakau dinegaranya banyak yang beralih menanam tanaman yang bermanfaat namun punya nilai jual yang tinggi. Karenanya dia sangat mensuport Indonesia untuk segera meratifikasi FCTC demi keselamatan bumi dan manusia itu sendiri. (kresia)