suluhnusa.com_Datanglah ke sini Mae, kehadiranmu membuatku terhibur. Aku tertekan dengan situasi, sebagai ras dengan stigma teroris aku sangat tersiksa.
Setiap orang menanyakan negaraku, pertanyaan itu tidak bernada ingin tahu yang benar-benar dipenuhi rasa penasaran, mereka bertanya berapa bom lagi yang akan diledakkan di tiap sudut kota, di kafe-kafe, di restoran-restoran mewah, di klub-klub atau di hotel-hotel berbintang lima.
Pertanyaan itu benar-benar memojokkan. Aku sedih Mae, aku sedih. Tatapan sinis mereka tatkala JW.Mariott meledak, makin membuatku tak berdaya. Jika aku kembali, adakah sebuah harapan bisa kugapai? Adakah pekerjaan yang layak bisa kuperoleh?
Ah…aku bingung.
Bila kau datang, kau bisa tinggal sementara di apartemenku, aku tidak tinggal lagi bersama Mama. Beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya, beliau terlalu ingin tahu dengan urusanku. Banyak larangannya yang membuatku bingung. Mae, sudah saatnya aku hidup mandiri. Camarillo bukan kota yang ribut, di sini tenang, aku bisa menikmati pantai Malibu setiap saat. Di sana, di kaki bukit aku dapat bertatapan langsung dengan rumah almarhum Michael Jackson atau Madonna.
Yah, meski wajah mereka tersamar oleh tembok kokoh yang mereka bangun untuk terbebas dari teroris, paling tidak aku bisa berkhayal kalau mereka mengintip dan melihat tubuhku yang mungil dan sedikit seksi saat berbikini di tepian pantai nan dingin itu.
Mae, aku bekerja di sebuah supermarket dekat apartemen. Hasilnya lumayan, aku bisa menabung beberapa dollar setiap harinya, serta mengirimkan beberapa dollar pula untuk Jay, adik lelakiku. Kau tahu Mae, satu hal yang kurindu adalah, aku ingin sekali ke gereja, berbakti pada Tuhanku, namun di sini sulit.
Gereja selalu sepi, yang ada adalah para manula dengan doa-doa dan harapan agar jika mereka meninggal kelak, Tuhan akan memaafkan dosa-dosa mereka dan menerima mereka masuk surga. Aku tak ingin itu. Aku ingin selalu berbicara dengan Tuhanku, mengadu segala perihnya kehidupan, mengadu padaNya, kapan Ia mengirimkan aku jodoh yang pantas dan sesuai untukku. Aha!
Kau tahu Mae, beberapa waktu lalu aku pernah menjalin hubungan dengan pria Puertorico, dia baik, namun setelah tiga bulan orangtuanya tahu aku berasal dari Indonesia, sang ibu menyuruhnya memutuskan hubungan kami. Menurutku alasannya lagi-lagi klise, aku dituduhnya bangsa teroris.
Tapi sesungguhnya ada satu hal yang kutakuti, dan ini lebih berat dari tuduhan itu. Mae, pria yang kupanggil Ricardo baru berusia 26 tahun. Ia tertipu oleh tubuh mungil dan wajah ‘imut-imut’ ku. Kurasa hal yang baik dia memutuskan aku karena permintaan ibunya. Aku takut, jika dia tahu berapa usiaku kelak. Sebab di usia seperti itu, aku tidak lagi bisa memberikannya anak, aku sama denganmu. Kita sama-sama akan memasuki usia menopause.
Mae, aku terharu membaca E-mailmu, kau melanglangbuana dari satu daerah ke daerah lain. Kulihat di Facebook, wajahmu begitu segar. Saat kau berpose di Raja Ampat, di Wakatobi, di NTT, Di Bunaken, Kepulauan Komodo, di Pulau Rote, di Bali, dan di berbagai tempat di pulau-pulau yang ada di Indonesia, aku menangis.
Aku rindu sekaligus iri padamu. Kau jurnalis sejati dan aku…? Di sini aku hanya pekerja jam-jaman yang bertahan agar bisa tetap hidup. Aku juga menitikkan air mata tatkala melihatmu berfoto dengan anak-anak dan suamimu.
Aku serasa tercerabut dari dunia ini. Aku sepi dan sendiri ( maaf pada kalimat ini aku menitikkan air mata). Aku sampai berkata pada diriku sendiri, apakah aku bisa sepertimu? Bagiku, hidup tanpa pasangan adalah semu. Aku tahu ada sebagian orang yang bahagia hidup sendiri, tapi aku tidak. Aku tak tahan pada sepi. Keheningan dan kesepian adalah dua kata yang membuatku selalu ingin berlari dan terus berlari.
Oh ya, sirup buah merah yang kupesan untuk temanku yang menderita kanker payudara stadium empat, saat kau ke Jayapura, sudah tiba. Ia telah meminumnya. Katanya, tubuhnya agak sedikit segar, untuk sementara ia bisa meneruskan hari-harinya yang selalu dipenuhi dengan rasa sakit.
Kau janji ya Mae untuk datang menemaniku ke sini. Nanti jika kau tiba, aku akan mengajakmu menyurusuri Camarillo, Oxnard, Beverly Hills, Hollywood, Las Vegas, San Diego, hingga San Francisco.
Akan kuajak kau melihat dari kejauhan rumah tepatnya kerajaan Bill Gates yang dijaga dengan ketat oleh satuan keamanan. Kita akan menyusuri gemerlapnya Las Vegas, menikmati suguhan musik jazz kegemaranmu dan juga kegemaranku.
Dan jika kau mau (jika), kita bisa menikmati sedikit berjudi dengan slot macine yang ada di sana, siapa tahu keberuntungan ada di pihak kita. Namun, bila hati nuranimu menolaknya, kita tak usah berjudi. Sebab, aku pernah mendengar ucapanmu, “yang namanya judi, selamanya akan membawa kehancuran!” Dan aku yakin kau pasti tak mau untuk berjudi di sana, meski hanya dalam skala kecil-kecilan.
Mae sayang, hidupku penuh dengan kontradiksi. Antara kenyataan dan tidak hanya dibaluti garis tipis. Aku mulai tidak percaya dengan keberuntungan. Bagiku semua yang ada adalah nestapa. Kau tahu, setelah aku diputuskan Ricardo, aku bertemu dengan Dominic, seorang Ph.D lingusitik lulusan UCLA.
Dia tertarik padaku. Dan aku, entah antara suka dan tidak masih terasa bias, sebab dia bukan kriteriaku. Namun, karena perhatiannya yang tulus, aku mulai menyukainya. Singkatnya kami berpacaran. Dia sangat memerhatikanku. Namun lagi-lagi aku tak beruntung, setahun menjalin hubungan, dia terkena kanker usus stadium empat, beberapa bulan kemudian meninggal. Sedih Mae, aku sendiri lagi, hampa dan sepi.
Aku berkhayal, andai kau tiba, kita tinggal satu apartemen dan kita akan bekerja bersama-sama, di akhir minggu kita akan menonton film di Fox Cinema atau kita ke United Artist Cinema, di Thousand Oaks, di sana film-film terbaru bisa kita nikmati dan kau dapat membuat resensi film itu lalu mengirimnya ke berbagai media yang ada di Indonesia.
Ah Mae, aku merasa hidup lebih berwarna jika kau ada. Jika kau ingin beribadah tiap Jumat, aku akan mengantarmu ke Los Angeles, di KBRI kau bisa beribadah bersama dengan sesama muslim. Mereka sangat welcome, sama seperti ketika aku ingin menghadiri ibadah Natal. Mae, sesungguhnya kita sama.
Kita masih berada di bawah naungan satu kata yaitu ‘puritan’, aku masih tetap dengan prinsip yang dulu kita canangkan. Ya, meski aku telah bertahun-tahun hidup di Amerika, melihat sex bebas sebagai rutinitas biasa, kehidupan beragama hanya untuk status sebagaimana layaknya orang beragama, kehidupan sosial yang sudah terhapus oleh pentingnya materi, pemujaan terhadap teknologi dan pemujaan terhadap keindahan fisik melalui operasi plastik dan berbagai bentuk kenikmatan duniawi lainnya, aku masih tetap Nina yang dulu.
Percaya atau tidak (aku malu untuk menyebutkannya), di usia senjaku, aku belum pernah berhubungan badan dengan laki-laki. Ricardo pernah marah akan hal ini. Tapi aku tetap bersikeras. Ia tersinggung ketika kuminta untuk memeriksakan kesehatannya di dokter sekaligus meminta surat bebas HIV/AIDS, lever dan segala penyakit kronis lainnya.
“Apa? Kamu sudah gila? Kamu pikir aku akan menebarkan penyakit di dalam tubuhmu?” serangnya.
Aku diam saja Mae. Tapi aku tetap bertahan dengan pendirianku. Mungkin ini juga salah satu sebab mengapa dia memutuskanku. Baginya seks adalah kebutuhan hidup. Mengapa kita mematikan rasa itu jika itu memang kita butuhkan? Mae, Ricardo menganggapku munafik. Ia mengatakan aku sama seperti orang-orang yang berkedok agamais namun di balik itu tersimpan nafsu durjana yang kejam.
Yang menjajah manusia seperti layaknya binatang, yang memperlihatkan kehidupan beragamanya pada banyak orang, namun melaksanakan sifat-sifat licik dan kejinya dengan sembunyi-sembunyi. “Kau tahu Nina, semua itu dilakukan oleh orang-orang yang menganggap dirinya paling suci dan paling benar. Sesungguhnya mereka adalah sampah, sampah yang tak berguna!”
Ricardo tak mau menerima alasanku Mae. Aku membiarkannya pergi setelah membanting pintu apartemenku dengan perasaan terluka. Ada hal yang benar yang diucapkannya. Namun, aku memang harus berada di jalan yang kupilih, berada di balik kemunafikan itu sendiri. Karena di negara kita, itu adalah salah satu ‘hukum’ yang harus kita patuhi. Hukum yang dibuat oleh orang-orang yang munafik…
Mae, aku sudah letih dengan hidup ini. Aku terus melakukan berbagai pekerjaan kasar dari satu tempat ke tempat lain. Aku menjadi pelayan supermarket, menjaga orang-orang berusia lanjut, menjadi pekerja harian di perusahaan India dengan pemiliknya yang super pelit dan sangat menjajah tenagaku, menjadi pelayan toko di supermarket Korea di mana aku pernah mabuk ginseng, menjadi tukang koran jam-jaman, menjadi pembersih kloset di sebuah rumah orang kaya, menjadi ‘nanny’ yang juga jam-jam-an dan berbagai pekerjaan lainnya.
Kau tahu Mae, aku tak lebih dari budak yang yang harus mampu menghidupi diriku sendiri. Satu hal yang membuatku agak bahagia, aku memiliki ijin kerja, sehingga aku tak perlu lagi berlari menghidari para petugas negara yang mengendus-endus para imigran gelap. Kau tahu, seorang temanku asal Indramayu tertangkap, dia dideportasi seperti binatang, dia tak boleh membawa uang hasil jerih payahnya sepeser pun, ya sepeser pun!
Jika kau akan datang, jangan lupa E-mail atau kirim berita melalui Facebook ya Mae. Aku rindu padamu Maesaroh… sangat!
***
E-mail itu baru kubaca. Nina mengirimnya seminggu setelah kematiannya. Aku mencoba berpikir rasional, mungkinkah di tempat dia dikuburkan ia bisa mengirimkan berita untukku? Ah, aku bingung namun tidak merinding. Sahabatku Nina adalah pribadi yang tulus, ia tidak pernah berniat untuk menakut-nakutiku, baik saat ia masih hidup maupun setelah kematiannya.
Maka tatkala kukirim E-mail balik dan bertanya padanya apa yang membuat ia meninggal, di situ hatiku semakin lara. Nina yang malang, tak pernah menceritakan jika dirinyalah yang terserang kanker payudara stadium empat.
Ia bahkan mengatakan meminta ramuan buah merah itu untuk temannya yang sakit sama seperti dirinya. Nina menutupi semuanya agar aku tetap menganggap ia penuh semangat dan gembira, tetap memandangnya sebagai sahabat yang optimis. Ya, dalam keyakinan kami memang berbeda, namun ia adalah sahabat yang paling mengerti tentang perbedaan itu.
Dan esoknya, ketika kubuka E-mail, Nina menulis begini ; Dear Mae, akhirnya kau mengetahui segalanya. Aku selalu menanti kedatanganmu…
Air mataku menitik membaca E-mail itu. Sekali lagi kukatakan, aku tidak merinding membacanya. Sungguh!
Fanny J. Poyk
Camarillo, CA 1990