Mata Mera Bermalam dan Bakar Ikan di Gedung DPRD Lembata

Beranda » Politik » Mata Mera Bermalam dan Bakar Ikan di Gedung DPRD Lembata

Tengah malam, Ketua DPRD Lembata Ferdinandus Koda dan Anggota DPRD Anton Leumaran mengunjungi massa Front Mata Mera sebagai bentuk kepedulian atas rakyat yang sedang mencari keadilan.


suluhnusa.com – Aksi demontrasi Front Mata Mera-Front Mahasiswa Lembata Makasar Merakyat, sejak kemarin, 18 Maret 2019 melaksanakan aksi protes terkait pembangunan Jeti dan Kolam Apung Awololong di Gedung DPRD Lembata masih bertahan hingga hari ini, 19 Maret 2019.
Usai bertemu dengan ketua dan delapan anggota DPRD Lembata di ruangan sidang utama, Masa Front Mata Mera menyatakan menduduki Kantor DPRD Lembata sampai semua tuntutan mereka dipenuhi oleh berbagai pihak termasuk Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dan Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur.
“Kami akan menduduki kantor DPRD sampai semua tuntutan kami dipenuhi. Kita nginap dan masak makan di sini, di kantor DPRD. Kita masak makan di kantor DPRD,” ungkap Abdul Gafur Sarabiti saat dalam orasibya di hadapan Ketua DPRD Lembata, Ferdinandus Koda yang menerima massa demonstran di gerbang masuk kantor tersebut.
Penegasan dan permintaan Front Mata Mera ini juga kembali disampaikan di dalam ruangan sidang utama saat mereka berdialog dengan anggota DPRD.
Permintaan Front Mata Mera ini disambut baik oleh Ketua DPRD Lembata, Ferdinandus Koda. Mereka diizinkan untuk menginap di kantor DPRD Lembata.
Dan benar, Front Mata Mera menduduki kantor DPRD sejak kemarin sore. Pantauan suluhnusa.com, Front Mata Mera yang berjumlah 15 orang itu, bermalam sembari memasak nasi, membakar pisang dan ikan di areaa gedung DPRD Lembata dikawal ketat Satpol PP.
Tengah malam, Ketua DPRD Lembata Ferdinandus Koda dan Anggota DPRD Anton Leumaran mengunjungi massa Front Mata Mera sebagai bentuk kepedulian atas rakyat yang sedang mencari keadilan.

Mereka menuntut DPRD Lembata membatalkan pembangunan jeti dan kolam apung Awololong. Proses pembangunan di Awololong ditengarai telah menimbulkan konflik horisontal bahkan vertical (dengan Pemerintah). Hal ini karena tidak adanya sosialisasi dan transparansi dalam proses pembangunan oleh Pemda Lembata.

Ramli Leuwayan saat membacakan pernyataan sikap menjelaskan secara sosial-budaya pembangunan pariwisata di awololong dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan “pembunuhan” terhadap nilai historis dan kultural masyarakat Lembata. Sebab sebagian masyarakat Lembata meyakini bahwa awololong adalah tempat asal-usulnya.

Pembangunan di Awololong juga menyalahi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Mengapa demikian ? Karena awalolong adalah sebuah lokus pembangunan yang berkaitan langsung dengan ekosistem bawah laut.

Lebih jauh di jelaskan, Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup, pasal 23 ayat 1 menjelaskan bahwa kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting wajib dilengkapi dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).

Jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Lembata Tahun 2017-2022 Pemda Lembata menempatkan pembangunan berkelanjutan atau pembangunan yang memperhatikan aspek ekologi (lingkungan hidup) sebagai sebuah prinsip atau pilar utama dalam proses pembangunan daerah.

Nyatanya, kaitannya dengan pembangunan di Awololong  Pemda Lembata tidak memiliki AMDAL sebagai salah satu prinsip dasar dalam model pembangunan berkelanjutan. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya Konsultasi Publik atau sosialisasi dari Pemerintah daerah terhadap masyarakat sebagai salah satu unsur yang seharusnya terlibat dalam proses penyusunan AMDAL.

Selain itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur Tentang Pengelolahan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Awololong sebagai pulau kecil harusnya dimanfaatkan untuk konservasi dan ruang-ruang publik, bukan diprivatisasi untuk kepentingan komersil. Sejak tanggal ditetapkan (Oktober-Januari 2018), proses pembangunan di Awololong juga menimbulkan kecurigaan berbagai kalangan atas penggunaan keungan negara.

Bagaiamana tidak, material untuk pembangunan di Awololong tiba di lokasi pembangunan sekitar akhir  bulan Desember 2018 sementara pelaksanaan pengerjaan proyek baru dimulai sejak bulan januari 2019, namun realisasi anggaran telah mencapai 80 persen. Hal ini diduga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah.

Yohanes Kia Numang kepada awak media menjelaskan sejak aksi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di Lembata bulan Januari kemarin, DPRD menjanjikan untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat, namun sampai hari ini kok tidak ada kelanjutan.ada apa ini?” ujarnya tegas.
Kia Nunang juga menambahkan malam ini kami tetap bertahan di gedung DPRD hingga besok pagi. Menanti DPRD Lembata memenuhi tuntutan kami” ujarnya.

Sampai berita ini ditulis, 19 Maret 2019,  massa Front Mata Mera masih bertahan di gedung DPRD Lembata yang kerap dikenal dengan Gedung Peten Ina ini, karena menurut rencana hari ini, 19 Maret 2019 DPRD akan menggelar rapat dengar pendapat bersama pemerintah.

Sementara itu pantauan suluhnusa.com, sejak 18 Maret 2019, Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dan Wakil  Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday tidak sedang berada ditempat.***

sandro wangak


Share your love
Suluh Nusa
Suluh Nusa

bagaimana engkau bisa belajar berenang dan menyelam, sementara engkau masih berada di atas tempat tidur.?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *