Berjuang Merebut Hak Bali
Posisi Bali yang telah di ujung tanduk, membuat penataannya tidak boleh main-main. Apalagi hanya bermain pada tataran “warna”, dengan kebijakan yang cenderung tambal sulam hanya untuk pencitraan semata, agar mengesankan seolah olah sang pemimpin punya rasa kepedulian terhadap budaya Bali. Kebijakan harus dibuat agar menyentuh “rasa” dari persoalan itu sendiri.
suluhnusa.com – Kekayaan budaya Bali yang menjadi daya tarik dan sekaligus merupakan tulang punggung kegiatan ekonomi pariwisata di Bali, perlu mendapat pelestarian, tapi tidak hanya dari sisi tangible atau sisi “warna” budaya, yang mudah dilihat karena tampak dipermukaan, tapi harus lebih kepada sisi “Rasa” atau sisi dimana budaya itu dapat bertumbuh dan berkembang, sesuai dengan tradisi dan harapan para pelaku budaya itu sendiri.
Hal itu hanya dapat terwujud bila adanya keberpihakan kepada para pelaku budaya , baik secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Selama ini pemahaman pelestarian budaya lebih ditonjolkan pada pembangunan fisik, sehingga pembangunan seperti pura, bale banjar dan bangunan lainnya seakan akan menjadi tolok ukur kemampuan seorang pemimpin menyentuh persoalan budaya.
Bahkan dengan hadirnya bangunan pura yang megah dan keberadaan resort serta hotel yang mewah, telah sukses mengecoh orang luar untuk beranggapan bahwa rakyat Bali sudah dalam kondisi gemah ripah loh jinawi, tidak kekurangan sesuatu apapun.
Namun tidak demikian kenyataannya pembangunan pura dengan proses ritual yang menghabiskan dana miliaran rupiah ataupun keberadaan seni tari, seni tabuh dan kesenian lainya hanya sebatas etalase dari budaya Bali yang dikelola secara tidak berkeadilan. Singkat kata Bali saat ini menjadi Bali yang materialistis dan egois.
Ini semua terjadi akibat dari gagalnya memahami makna dari tradisi dan budaya yang ada. Bahkan dengan egoisnya orang ingin membenturkan tradisi dengan agama. Sehingga tidak heran saat ini simplifikasi terhadap adat dan tradisi menjadi banyak pengikutnya.
Mereka lupa bahwa tradisi dan ritual Bali yang dibanggakan dunia itu, telah dilakukan sejak jaman dahulu tanpa bansos dan uluran tangan dari pemerintah ataupun kerajaan pada saat itu. Semua itu dapat berlangsung karena pada dulu peradaban manusia Bali berbasis gotong royong, atau yang dikenal dengan semangat “Mebraye”.
Pada satu sisi mental orang Bali digerogoti oleh budaya yang individualistik dan cendrung hedonis, tapi disisi lain dibidang kesenian ada fenomena yang menarik. Sampai saat ini meskipun masyarakat tahu, bahwa sebagai seniman tidak membuat masa depan mereka cerah, tapi itu tidak menyurutkan keinginan mereka mengembangkan talenta, demi memberikan pengabdiannya untuk pelestarian budaya Bali.
Kuatnya integritas seniman di Bali membuat lahirnya persepsi yang keliru, dimana tingginya partisipasi para seniman di Bali seolah-olah dimotivasi oleh besarnya upah atau kompensasi yang diterima. Itu diakibatkan oleh keberadaan tiket masuk yang mahal bagi para turis menonton pagelaran , ataupun akibat pementasan yang dilakukan di hotel mewah dengan harga kamar yang luar biasa mahalnya.
Kondisi seperti diatas membuat kita harus jeli bila ingin menata Bali kedepan. Hotel dan resor semakin banyak atau investasi di bidang pariwisata semakin melimpah ruah, diikuti dengan masifnya alih fungsi lahan. Namun sadarkah kita sejalan dengan megahnya pariwisata, semakin hari semakin tereksploitasinya alam Bali, tergredasinya moral dengan semakin redupnya semangat gotong royong yang justru menjadi ciri khas orang Bali membangun budayanya.
Posisi Bali yang telah di ujung tanduk, membuat penataannya tidak boleh main-main. Apalagi hanya bermain pada tataran “warna”, dengan kebijakan yang cenderung tambal sulam hanya untuk pencitraan semata, agar mengesankan seolah olah sang pemimpin punya rasa kepedulian terhadap budaya Bali. Kebijakan harus dibuat agar menyentuh “rasa” dari persoalan itu sendiri.
Kebijakan yang dinantikan adalah kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing, kebijakan yang mampu mengatasi perut lapar, yang pada akhirnya menjadi kebijakan yang mampu menghadang keterpinggiran alam dan rakyatnya.
Seperti halnya kebijakan membangun art center baru, menurut hemat saya tidak mendesak, apalagi kebijakan mengganti nama LPD masih harus diperdebatkan, karena tidak substansial.
Itu menjadi contoh bahwa kebijakan yang ada merupakan kebijakan yang sifatnya hanya menyentuh tataran”warna”.
Maka agar bisa menusuk jantung persoalan, perlu kemampuan menghadirkan kebijakan yang membuat rakyat dapat menemukan kembali jati dirinya sebagai orang Bali, yang ramah dan
yakin dengan keberadaan hukum karma dan hukum keseimbangan dengan Tri hita karana.
Untuk itu perlu lebih banyak lagi kebijakan terobosan yang memberikan perhatian terhadap pelestarian alam dan budaya, melalui proses edukasi dengan program pendidikan yang mengajarkan sejak usia dini, untuk bersikap ramah terhadap alam, lingkungan ataupun budaya yang kita miliki.
Seperti contoh bangkitnya kesadaran masyarakat Denpasar untuk mengatasi sampah plastik, dan bagaimana disiplin rakyat Denpasar untuk tidak menggunakan styrofoam dalam membuat Ogoh-Ogoh patut diapresiasi.
Suksesnya kebijakan itu semua, tergantung juga dari ketauladanan seorang pemimpin. Hilangnya ketauladanan membuat rakyat kehilangan panutan, sehingga berlaku pepatah, pemimpin kencing berdiri, rakyat kencing berlari. Dengan kondisi ini pemimpin dihadirkan hanya sebagai pelengkap dari persyaratan politis tanpa aura yang bisa menjadi inspirasi bagi rakyat.
Apapun kendala yang ada, kita harus tetap optimis, karena akan menjadi dosa sejarah, bila saat ini kita tidak melakukan perubahan yang fundamental.
Maka dari itu pembaharuan UU pembentukan
provinsi Bali tidak boleh menjadi UU yang normatif, namun harus mampu menjadi pengaturan serta tata kelola pemerintahan dan pembangunan Bali, yang dipastikan ramah terhadap alam dan budayanya, dapat memberikan keadilan dengan keberpihakan yang memadai bagi lokal konten yang ada, agar bisa menjadi tuan di tanah leluhurnya, demi tugas meneruskan warisan budaya Bali.
Salam Kebangsaan,
Jakarta, 8 Maret 2019
Nyoman Dhamantra