suluhnusa.com –
“Any attempt to speak without speaking
any particular language is not more hopeless
than the attempt to have a religion
that shall be no religion in particular…”
– Santayana, Reason In Religion
Tulisan ini merupakan sebuah kesan singkat tentang cara berbudaya. Wujud yang kelihatan dari budaya adalah sistem sosial, kebiasaan, aturan, alam lingkungan, bentuk fisik badan, artefak dan lain-lain. Sementara nilai, ideologi dan ide-ide selalu tampak samar dalam ruang aktivias sosial. Tetapi budaya selalu mencakup rasa, karya dan karsa.
Seperti pepatah lama “lain lubuk lain belalang”, setiap daerah memiliki caranya sendiri dalam menjalani rutinitas kehidupan. Adat dan tradisi selalu menjadi bagian dari sikap dan pilihan hidup. Kalau di Bali, menurut Clifford Geerzt, orang Bali bisa hidup tanpa pemerintah sebab mereka lebih tunduk pada adat-istiadatnya. Hidup mereka teratur dan diatur oleh budaya yang embodied dalam diri tiap orang Bali.
Maka muncullah istilah budaya lokal, yakni budaya yang sesuai dengan lingkungan, wilayah geografis dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Lokal dari bahasa Latin, locus yang artinya tempat yang khusus. Ketika agama menyatu dengan budaya lokal dalam proses inkulturasi, kebiasan-kebiasan mempengaruhi sikap dan cara orang beragama. Agama Katolik menjadi agama mayoritas di Flores justru karena agama itu “ramah” terhadap budaya arkaik orang-orang Flores. Atas dasar itulah Clifford Geertz menyebut “religion as a cultural system”.
Acara Sambut Baru pun tidak lepas dari pengaruh budaya lokal sebuah masyarakat. Sambut Baru adalah bagian dari ritual khusus para pemeluk agama Katolik. Sambut Baru merupakan sebut lain dari penerimaan sakramen Ekaristi pada agama Katolik. Seperti diketahui, ada 7 (tujuh) sakramen yang wajib diterima oleh para pemeluk agama Katolik, yakni Sakramen Permandian, Khrisma (Penguatan), Ekaristi, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pengakuan Dosa dan Imamat. Sakramen Imamat biasanya dikhususkan kepada para calon-calon imam yang hidup tidak menikah.
Pada usia anak, umat Katolik wajib menerima sakramen Permandian, Ekaristi dan Khrisma. Dengan menerima sakramen Permandian, seorang resmi menjadi pemeluk agama Katolik. Pada saat permandian, seorang anak diberi nama sesuai dengan nama-nama khas umat Katolik. Seorang anak dikatakan telah dewasa secara Katolik apabila telah menerima sakramen Khrisma.
Sakramen Khrisma ini bisa disinkronkan dengan ritual adat Potong Gigi di beberapa tempat di Flores, misalnya di beberapa tempat Nagekeo, Manggarai dan Riung (Ngada), NTT. Setelah ritual adat Potong Gigi (koa ngi’i-bahasa orang Nagekeo), seorang anak perempuan/laki-laki menjadi dewasa secara adat dan siap dipinang.
Sebelum Khrisma, seorang anak wajib menerima sakramen Ekaristi. Biasanya disebut dengan istilah “Sambut Baru”. Sebab, dalam upacara religius sakramen Ekaristi, seorang anak pertama kali menerima hostia dan anggur. Hostia (Latin, kurban) dan anggur adalah simbol tubuh dan darah, tanda pengurbanan dan kehadiran Yesus Kristus yang adalah jalan, kebenaran dan hidup bagi pemeluk agama Katolik.
Di wilayah Soa, Kabupaten Ngada, Flores, NTT, ada suatu kebiasaan yang khusus berkenaan dengan pesta Sambut Baru. Istilah pesta yang diikutkan pada frasa Sambut Baru tidak mengusung suatu bayangan kemewahan, melainkan hanya sebagai sebuah ekspresi kehabagiaan. Bahwa dengan pesta Sambut Baru, sebuah keluarga sedang berbahagia sebab anaknya sedang menjadi pemeluk agama Katolik sejati.
Hierarki Gereja Katolik telah melarang umatnya untuk mengadakan “pesta” pada acara Sambut Baru. Dalilnya, pesta adalah pemborosan. Jika ada 200 orang diberikan Sakramen Komuni Suci pada satu kesempatan yang sama, maka akan ada 200 tempat pesta di suatu wilayah yang sama. Para undangannya pun pasti orang yang sama dan akan merasa lelah mengikuti semua pesta Sambut Baru tersebut.
Tetapi larang hierarki Gereja Katolik tersebut tidak bisa membatasi umat untuk berbahagia. Kebahagiaan adalah soal rasa, bukan urusan pemborosan. Pesta itu bagian dari denyut nadi ekonomi rakyat sebab berkenaan dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi. Pesta tidak bisa dilihat hanya dari posisi “demand” tetapi juga “supply”. Supply creats its own demand, kata Jean Baptist Say. Maka terjadilah harga.
Komparasinya, bagi umat “pesta” lebih bernilai ekonomi dan silaturahmi ketimbang pembangunan gereja yang super lux dengan “pemerasan” terselebung terhadap umat. Karena itu, pesta Sambut Baru tetap diadakan dengan sistem “makan jalan”. Masing-masing orang tua yang anaknya menerima Sakramen Komuni Suci tetap membuat acara pesta Sambut Baru.
Ciri orang Flores adalah masyarakat Gemeinschaften (istilah sosiolog Emile Durkheim). Begitu juga orang Soa. Dengan ciri masyarakat gotong-royong Durkheimian itu, setiap upacara tentu di-handle secara bersama-sama. Begitu juga-lah halnya dengan pesta Sambut Baru. Keluarga besar merancang dan mengurus bersama pesta Sambut Baru.
Masing-masing keluarga membawa “sembako”-nya masing-masing untuk membantu melancarkan pesta. Mulai dari urusan dapur hingga kemah pesta, diurus bersama. Ada juga keluarga yang melibatkan warga tetangga, RT atau bahkan RW. Keterlibatan warga selain keluarga besar bisa diukur dari tingkat partisipasi dan komunikasi keluarga itu dalam mengikuti kegiatan-kegiatan adat bersama dan sosial lingkungan yang pernah dibuat. Ada semacam “balas budi” atau “dodo atau leko leles” (bahasa Manggarai), “regu”(bahasa Wukir), “leghu lima” (bahasa orang Wolokuku, suatu daerahdi Kecamatan Wolomeze, Ngada) atau “wae tua, anak manu” dalam bahasa Soa sendiri.
Pada saat pesta Sambut Baru di Soa, para udangan datang dan memberikan ucapan selamat dan profisiat bagi orang tua dan anak yang menerima sakramen Ekaristi. Para undangan memasukan amplop “angpao” pada kotak yang telah disediakan. Itu sebagai tanda dukungan dan penghargaan atas status kekatolikan sang anak. Lalu para among tamu mempersilakan para undangan untuk ambil minum, duduk dan makan bersama.
Semua berlangusng seperti etiket pesta pada umumnya. Para undangan datang dengan dandanan pesta yang cantik dan ganteng. Semua orang berusaha menjadi “diri yang maksimal”. Di tempat undangan, ada musik yang terus menghibur. Tersedia juga hidangan pesta yang enak-enak. Ada juga minuman bir, tuak putih, arak-sopi, kopi, teh, jus buah dan air putih kemasan.
Di Soa, lagu-lagu daerah khas Ngada dan Nagekeo dibunyikan. Irama riang-menghentak pada lagu-lagu ja’i seakan sedang mengajak para undangan ber-ja’i ria. Sementara itu, para undangan datang silih berganti.
Sebagai tamu undangan, orang Soa ternyata punya kebiasaan yang unik. Dalam semangat kebahagiaan bersama para penerima sakramen Ekaristi, ada juga orang Soa yang membawa kain/sarung tradisional dan ternak, seperti ayam dan bebek, sebagai pengganti amplop angpao. Ayam dan bebek dibawa serta pada saat pesta Sambut Baru. Dengan dandanan yang menarik, mereka memegang atau menggendong ayam dan bebek.
Jenis ayam atau bebek yang dibawa biasa jantan, bukan betina. Membawa ayam atau bebek yang betina itu berarti telur dan atau anak ayamnya mesti dibawa serta. Karena itulah hanya yang jantan saja yang layak menjadi “angpao” Sambut Baru.
Ternyata, budaya orang Soa itu tidak lepas dari kebiasaan memberikan “hadiah” ternak pada ritual pernikahan atau acara adat lainnya pada orang Soa. Pada saat pernikahan, orang Soa memberikan “hadiah” ternak kepada pengantin. Biasanya berupa ayam, kuda, sapi dan lain sebagainya. Sebagai contoh, bila kuda yang diberikan saat pesta, tali pelana kuda akan diberikan sebagai hadiah dan kuda diikat di luar kemah pesta. Itu berlaku khusus untuk mereka yang memiliki hubungan ikatan keluarga langsung dengan pengantin. Budaya seperti ini mirip budaya Nage yang biasa dilakukan oleh orang Boawae di beberapa tempat.
Semua itu merupakan bagian dari adat dan warisan leluhur. Orang Soa yang terkenal hobi berburu dan ritual tinju adat itu sangat mengikuti budaya dan menjunjung tinggi adat. Karena kebiasaan-kebiasaan itulah maka pemberian hadiah ternak sebagai “angpao” pesta Sambut Baru merupakan hal yang biasa. Pemberian seperti itu dapat dipandang lebih bernilai budaya tinggi.
Itulah kekayaan budaya orang Flores yang termanifestasi dalam praktik-praktik budaya dan kebiasaan masing-masing daerah di Flores. Sebagai bagian dari masyarakat Flores yang berbudaya, orang-orang Soa yang adalah “tuan rumah” Bandara Turalelo, Ngada, tetap menjunjung tinggi budaya tanpa mesti kehilangan taste modernisme. Kita berharap budaya luhur seperti itu tidak hilang dan sirna ditelah arus zaman.
Alfred Tuname
Penulis dan Esais