suluhnusa.com – Meridian Dewanta Dado, SH, Kuasa Hukum Tergugat Eliaser Yentji Sunur, ST, mempertanyakan kebasahan dan legalitas Hak Ulayat Dolulolong yang saat ini sedang menjadi obyek perkara di Pengadilan Negeri Lewoleba.
“Dengan tanpa bermaksud mendahului proses pemeriksaan perkara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lewoleba dalam Perkara Perdata Nomor : 8/PDT.G/2018/PN.LBT antara Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur, ST selaku Tergugat melawan Yunus Dara selaku Penggugat I, Umar Pati Raja selaku Penggugat II, Abdul Latif Soge selaku Penggugat III, M. Bapa tukang selaku Penggugat IV dan Ahmad Haba selaku Penggugat V, maka kami patut mempertanyakan legalitas dan keabsahan Hak Ulayat Dolulolong yang diklaim oleh para penggugat dalam perkara dimaksud,” ungkap Meridian Dado, ketika menghubungi suluhnusa,net, dari Maumere melalui WhattApp, 1 Juni 2018.
Menurut Meridian, Istilah Hak Ulayat bisa kita temukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menggariskan bahwa pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Lebih jauh Meridian menjelaskan Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999) pada Pasal 1 menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Setelah Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 itu dicabut pemberlakuannya maka rujukan hukum dari keberadaan Hak Ulayat atau Hak Komunal Atas Masyarakat Hukum Adat termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
BACA :
https://suluhnusa.com/hukum/20180512/rekalamsi-pantai-balauring-diduga-langgar-aturan-bumi-minta-hentikan.html
“Untuk menentukan apakah Proyek Reklamasi Pantai seluas 17.500 M2 dan Proyek Pembangunan Jalan Wisata seluas 42.000 M2 di Balauring itu merupakan areal Hak Ulayat atau Komunal maka harus dipastikan apakah keabsahan dan persyaratan Hak Ulayat atau Hak Komunal terpenuhi,” kata Meridian.
Syarat-syarat Hak Ulayat atau Hak Komunal, tutur Meridian, adalah adanya masyarakat hukum adat yang masyarakatnya berbentuk paguyuban, terdapat kelembagaan berupa perangkat penguasa adat, ada wilayah hukum adat yang jelas, memiliki pranata dan perangkat hukum peradilan adat yang masih ditaati, serta masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan setempat demi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Disamping itu Hak Ulayat atau Komunal itu juga harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan yang lebih tinggi. Selanjutnya sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.
Untuk itu, ditegaskan bahwa agar kepentingan Masyarakat Hukum Adat terlindungi maka Gubernur dan Bupati / Walikota adalah pihak yang paling berwenang untuk membuat pengakuan dan penetapan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat melalui suatu Keputusan Kepala Daerah.
TERKAIT :
YENTJI SUNUR DIGUGAT DI ‘POJOK CINTA’
SUNUR TIDAK HADIR, SIDANG PERDANA ‘POJOK CINTA’ DITUNDA
INI ALASAN ELIAZER TIDAK HADIRI SIDANG PERDANA GUGATAN ‘POJOK CINTA’
“Pertanyaannya adalah apakah keberadaan Hak Ulayat Dolulolong telah diatur dan ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Lembata atau Peraturan Daerah (Perda) setempat, sebab apabila keberadaan Hak Ulayat Dolulolong terbukti tidak dilandasi oleh suatu Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan Bupati Lembata maka para penggugat dalam Perkara Perdata Nomor : 8/PDT.G/2018/PN.LBT nantinya bisa dipertimbangan oleh hakim sebagai pihak yang tidak memiliki Legal Standing atau Kedudukan Hukum yang kredibel oleh karena keberadaan Hak Ulayat Dolulolong yang diklaimnya ternyata terbukti tidak sah atau illegal,” ungkap Meridian.
Sementara itu, Kuasa Hukum Para penggugat, Akhmad Bumi, SH, ketika dikonfirmasi terkait pernyataan ini, menegaskan pihaknya tidak ingin menanggapi dan menunggu saja di siding berikutnya, tanggal 5 Juni 2018.
Diberitakan sebelumnya, sidang perdana PMH, tidak dihadiri oleh Tergugat Eliazer Yentji Sunur dengan alasan sedang berada di luar daerah, walau demikian, Meridian Dewanta Dado sebagai kuasa hukum tergugat memastikan hadir pada sidang tanggal 5 Juni 2018 mendatang. ***
sandro wangak