SULUH NUSA, FATULEU – Beberapa bulan terakhir ketika berada di kampung. Dalam menjelang pesta demokrasi yang kian kini tinggal 36 hari ini menjadi dek dekan bagi parah Caleg baik itu DPRD Kabupaten, Provinsi, DPD RI, DPR RI dan juga terlebih pada ketiga Paslon Capres dan Cawapres yang ikut berkompetisi dalam pada pilpres kali ini.
Menjelang pesta demokrasi ini, saya sungguh mendapat banyak informasi dan ilmu berharga tentang politik. Ini soal pemilu legislatif dimana pesta demokrasi yang bakal digelar pada 14 Februari 2024 mendatang, menguras perhatian warga kampung.
Tulisan ini juga adalah bentuk kegundahan hati saya sebagai pemuda milenial yang selama beberapa tahun terakhir terus berjuang meningkatkan kesadaran warga untuk partisipasi dalam seluruh sektor pembangunan termasuk partisipasi warga dalam Pemilu.
Pesta demokrasi kali ini, saya mencoba menganalisa jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di kampung saya yang terletak di, Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat Kabupaten Kupang NTT. Dengan Memiliki jumlah Pemilih atau Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 2000-an pemilih.
Menurut hasil analisa saya jika Jumlah ini kalau tidak salah adalah DPT terbesar dari lima desa yang berada di kecamatan Fatuleu Barat yakni desa Kalali, Naitae, Nuataus dan Tuakau, jika jumlah DPT ini dipikirkan secara matang maka angka dengan jumlah 2000-an itu, bisa menghasilkan kurang lebih 1 orang asli dari desa Poto untuk bisa duduk sebagai anggota legislatif.
Namun, Anehnya, sepanjang pesta demokrasi yang dari tahun-tahun sebelumnya, belum pernah ada anggota DPRD kabupaten terpilih dari desa poto.
Yang jelas bahwa, dari sisi keterwakilan warga, ini tentu suatu kerugian besar karena suara pemilih sebanyak itu tidak mampu menghasilkan satu kursi DPRD Kabupaten.
Sampai-sampai hal ini kerap menjadi bahan candaan dan lelucon bahkan menjadi lawakan wajib warga setiap lima tahunan. Yang mana Suara pemilih sebanyak itu terbuang ke luar kampung.
Sekalipun, memang ini juga tidak salah karena siapapun boleh dipilih oleh warga, termasuk calon legislatif dari luar kampung. Yang saya kuatirkan bukan soal pilihan calon di dalam atau luar kampung tapi perihal perilaku money politik yang berjangka pendek yang tentunya mencederai suara warga sehingga terbuang sia-sia.
Meski saya juga mau bilang bahwa jika dengan bersatu kita mampu menghasilkan satu kursi DPRD, kenapa itu tidak kita lakukan sebagaimana yang dilakukan beberapa desa lain dalam daerah pemilihan yang sama.
Selain jalur keluarga atau jalur balas budi, salah satu sebab kenapa banyak suara pemilih terbuang ke luar kampung adalah karena warga desa kerap jadi objek politik yang saya sebut money politik.
Tentunya jenis money politik ini yang kemudian dipakai oleh para politisi sehingga walaupun mereka tidak perlu pusing untuk sering turun ke warga.
Mereka tidak perlu selalu hadir dalam setiap hajatan atau musibah warga. Tidak perlu juga mengeluarkan banyak biaya untuk mencetak baliho dan memajang di sepanjang jalan.
Karena, tidak diragukan lagi bahwa memang politisi jenis ini cukup cerdik karena mereka tahu, warga desa kita masih banyak yang hidup susah sehingga gampang dibeli dan dikapling-kapling sesuai mau mereka.
Politisi aliran ini cukup menyiapkan uang tunai dengan nominal atau barang tertentu lalu mempercayakan satu dua orang warga di kampung-kampung untuk mencari 20 – 30 suara yang siap dibayar dan pasti memilih mereka.
Uang atau barang yang menjadi jaminan suara diserahkan ke koordinator dan baru diserahkan ke warga pemilih jika target suara benar-benar tercapai.
Jika target tidak tercapai, uang wajib dikembalikan. Jika lagi apes, uang yang diitip ke koordinator bisa saja ludes meski target jauh dari kesepakatan.
Hal ini kerap menimbulkan keributan baru karena kesulitan menagih kembali uang yang sudah terpakai warga. Kata warga, ini kesempatan kami mendapatkan uang dari para politisi karena setelah terpilih mereka dibayar mahal oleh negara sementara kami tidak dapat apa-apa.
Karena itu kami minta bayar dimuka. Jika kami dalam keluarga sebanyak 4 orang yang memilih dan dibayar 200 ribu per suara, maka kami bisa mendapatkan uang sebanyak 800 ribu.
Ini sudah sangat membantu meringankan beban kami. Ceritera seperti Ini ternyata sudah masif terjadi dalam setiap pemilu. Sebab pemahaman warga kita tentang pemilu dan segala konsekwensinya masih jauh dari apa yg kita dambakan tentang pemilu yang sehat dan demokratis.
Saya tidak menduga kalau money politik ini sudah mendera warga di kampung-kampung kita yang masih lekat dengan norma adat dan agama selain memang dilarang norma kepemiluan.
Hemat saya, hal ini memang tidak semata-mata kesalahan politisi kita. Politisi kita hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara termasuk menyiapkan uang tunai untuk warga pemilih.
Faktor kesadaran pemilih menjadi tantangan paling berat pemilu kita saat ini. Jika kesadaran memilih wakil rakyat hanya sebatas karena mendapatkan bayaran 100-200 ribu, harapan apa yang bisa kita gantungkan kepada mereka yang telah membayar dan terpilih untuk keslamatan warga dan kemajuan daerah?
Perihal bagaimana meningkatkan kesadaran politik warga adalah tanggung jawab kita semua. Ya tugas negara, tugas partai politik dan kita semua sebagai pemilih. Money Politik ini sungguh meluluhlantakan para politisi yang dengan niat baik dan tujuan mulia menjadikan jalan politik sebagai perjuangan menuju ambang Senayan.
Setelah mengulas ceritera di atas maka saya berharap kepada warga desa Poto, untuk tidak terpengaruh dengan segala jenis money politik yang berjangka pendek.
Untuk itu, warga mestinya selalu bijaksana dalam mengambil setiap kebijakan dalam menyatukan pilihan calon anggota legislatif pada 14 Februari 2024 yang secara serentak akan digelar di seluruh Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berada di Indonesia.
Opini justus Petrus karma, Alumni Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Kupang Tahun 2023.