SULUH NUSA, LEMBATA – USAI bencana Erupsi Gunung Api Ili Lewotolok 29 November 2020 dan Bencana Banjir Seroja 4 April 2021, Pemerintah Lembata belum juga menyadari bahwa Mitigasi, advokasi dan managemen bencana sesungguhnya menjadi kebutuhan semua masyarakat Lembata.
Rentannya pulau Lembata akan potensi bencana alam tidak serta merta menyadarkan semua stakeholder termasuk eksekutif dan legislatif untuk menempatkan kontigensi bencana sebagai hal utama yang menjadi perhatian serius.
Buktinya, sejak tahun 2012 dokumen kontigensi yang penyusunannya diinisiasi okeh Oxfam dan YBS tetap menjadi dokumen tua yang tidak pernah direvisi selama 10 tahun atau satu dekade. Padahal, Lembata sudah dilanda bencana beruntun dan menelan korban jiwa juga materiil.
Kalak BPBD Lembata, Siprianus merupakan, ketika ditanya Suluh NUSA (weeklyline media network) disela sela Pertemuan Teknis Rencana Kontigensi Bencana Gunung Ili Lewotolok, di Hotel Palm, 13 Juni 2022 mengakui rencana kontigensi bencana Kabupaten Lembata tidak menjadi perhatian serius karena terkendala dana.
“Kita memang belum menyadari kontigensi bencana menjadi kebutuhan. Karena kita ajukan dana untuk penanganan manajemen bencana selalu di tolak oleh DPRD dan tidak dianggarkan dalam APBDes sekian tahun, ” Jelas Meru.
Sipri Meru lebih jauh mengungkapkan dokumen kontigensi bencana Lembata adalah dokumen lama yang disusun tahun 2012.
Dokumen itu baru direvisi, 13 Juni 2022 setelan 10 tahun atau dua tahun setelah kejadian bencana erupsi dan seroja. Miris memang tapi itulah begitulah Lembata.
Dan kegiatan revisi teknis kontigensi bencana inipun diinisasi oleh Yayasan Plan Internasional Program Area Lembata bekerjasama dengan BPBD Kabupaten Lembata. Dukungan dana pun datang dari Yayasa PLAN Internasional Program Implementasi Area Lembata.
Dukungan dana inipun diakui oleh Kalak BPBD Lembata.
Dalam sambutan penutupan kegiatan Meru mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Plan Internasional Program Implementasi Area Lembata.
Selain dihadiri perwakilan hampir seluruh perangkat daerah tingkat Kabupaten serta perwakilan dari Kecamatan Ile Ape, Ile Ape Timur, Nubatukan dan Lebatukan, kegiatan juga dihadiri personil pos pemantau gunung api (PGA) Ili Lewotolok.
“Pemkab Lembata melalui BPBD, punya kewajiban menyusun suatu rencana penanggulangan yang bisa digunakan dan dipahami sebagai pedoman oleh seluruh stakeholder”. Tutur Meru dalam sambutan menutup kegiatan.
Erlina Dangu, Manager Yayasan Plan International Indonesia PIA Lembata mengungkapkan, salah satu aspek penting dalam penanggulangan bencana adalah menyusun perencanaan kontingensi.
“Perencanaan ini disusun dan disepakati bersama sebagai pedoman kebijakan, strategi, dan langkah dalam menangani kedaruratan atau situasi krisis akibat bencana. Rencana kontigensi menjadi kebutuhan dalam penanganganan bencana. Lembaya butuh itu, ” ungkap Erlina.
Keputusan Yayasa Plan Internasional Program ImplentasinArea Lembata memfasilitasi kegiatan teknis penyusunan rencana kontigensi ini mengingat status gunung api Ile lewotolok yang masih berada pada level III dan berdasarkan laporan dari PPGA bahwa aktivitas vulcanic masih terus berlangsung, maka Yayasan Plan International Indonesia memandang perlu untuk melakukan pemutakhiran dokumen Renkon yang sudah ada sejak tahun 2012.
Pemutakhiran dokumen renkon ini berpedoman pada panduan renkon 5.0 yang menggaris bawahi pengharusutamaan gender dalam tanggap darurat.
Dokumen ini menjadi penting agar meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan aparatur dalam mengantisipasi ancaman erupsi gunung Ile Lewotolok, menginventarisir kekuatan dan sumber daya daerah dalam menghadapi potensi terjadinya erupsi.
Erlina mengatakan dokumen kontigensi ini juga menyiapkan data-data spasial mengenai peta terdampak, jalur evakuasi, dan titik – titik pengungsian serta mengorganisasikan sistim komando tanggap darurat.
Ia berharap dokumen ini akan menjadi panduan atau pedoman dalam tanggap darurat jika sewaktu waktu terjadi erupsi yang mengancam keselamatan masyarakat.
Konsep sister Village Menjadi Skema Penanganan Bencana
Dalam rapat penyusunan renkon, pihak BPBD Lembata menawarkan konsep “Sister Viilage” sebagai skema siaga darurat Erupsi Ile Lewotolok.
” Kita di Lembata ini akan terapkan skema Sister Village. Atau Desa Saudari. Jadi nanti penanganan penduduk yang terdampak bencana Erupsi itu dengan mengevakuasi merek ke desa-desa sekitar yang berada di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) Erupsi Ile Lewotolok. Tetap ada posko utama dan pos khusus. Sedangkan Pos Lapangan ada di setiap desa yang menjadi Sister Village, ” terang Yohanes Gregorius Solang Demo, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BPBD Lembata.
Sejumlah desa atau wilayah yang menjadi Sister Village berada dalam koordinasi Pos Lapangan antara lain Pos Lapangan Nubatukan membawahi sejumlah Sister Village mulai dari Kelurahan Lewoleba Timur hingga Desa Waijarang.
Pos lapangan kedua adalah Kecamatan Lebatukan yang membawahi Sister Village mulai dari Desa Lamatuka hingga Desa Waienga.
Pos lapangan berikutnya adalah Pos Lapangan Pasaraya. Pos ini berada di sekitar simpan tiga Hadakewa Ile Ape yang membawahi Wilayah Tanah Merah dan Tanah Putih. Tanah Merah adalah wilayah pemukiman baru masyarakat Desa Waimatan sedangkan Tanah Putih adalah wilayah pemukiman baru masyarkat Desa Lamagute.
Para penyusun draft Renkon juga menawarkan satu pos lagi di sekitar Simpang Tanjung Ile Ape yang membawahi dua Sister Village yakni Pemukiman Podu dan Waesesa.
Sister Village adalah konsep penanganan darurat masyarkat terdampak bencana, dimana masyarakat dari sebuah desa atau komunitas terdampak bencana akan dievakuasi dan tinggal bersama masyarkat dan keluarga-keluarga di sebuah desa lain.
Meski warga terdampak akan diarahkan untuk tinggal tersebar, rencana kedaruratan tetap terkoneksi dengan Posko utama.
Penyusunan renkon ini didukung anggaran dari Yayasan Plan International Indonesia Program Implementasi Area Lembata bekerjasama dengan BPBD Kabupaten Lembata. +++sandrowangak
Galeri Foto Erupsi GA. Ili Lewotolok 13-14 Juni 2022 📷 PGA Ili Lewotolok & sandrowangak