suluhnusa.com – Bertemu dan ngobrol lama dengan beliau, terakhir di tahun 2017. Saat itu ia berkunjung ke rumah kami membawa konsep Visi dan Misinya untuk siap mengikuti Suksesi Pemilihan Kepala Desa (Kades) Tuwagoetobi Kecamatan Witihama. Slogan menjadikan Masyarakat Tuwagoetobi yang “Mamase” (Maju Mandiri dan Sejahtera) sebagai visi unggulnya yang kami diskusikan setahun silam, telah menghatarnya lolos dalam mengambil peran “gelekat” pengabdian, pelayanan di Kampung halamannya sendiri, Honihama. Sebagai Kepala Desa.
Padat aktivitas pelayanannya di tengah masyarakat Desa Tuwagoetobi dan rutinitas agenda pembangunan, membuat kami yang dulunya sering ngopi bersama dan berbagi cerita perlahan hilang. Suasana kebersamaan di Kota Larantuka, layaknya bapak dan anak tak terasa lagi. Sejak resmi dilantik menjadi Kepala Desa, bersama keluarga, mereka kembali ke kampung halaman dan menetap di sana.
Hari Rabu 6 Juni 2018, di luar rencana dan tidak diduga sebelumya, kami bertemu di Kota Larantuka. Banyak cerita dan shering pengalaman secara bergantian kami luapkan. Walau terpaut usia cukup jauh, kami sangat akrab. Hal ini bisa terjadi, karena sejak kami bersekolah di SMA Negeri 1 Larantuka (2005), figurnya sudah menjadi teladan untuk kami. Ia mampu bergaul dengan semua kalangan. Baik yang tua, maupun muda. Ada rasa bangga, karena sejak SMA, ia bersedia berdiskusi dengan kami. Banyak informasi dan pengalaman ia bagikan. Rumusnya adalah rajin rajinlah bertanya.
Sebelum berkenalan dan akhirnya akrab seperti hari ini, kami sangat segan dengan beliau. Mengapa? karena, dialah satu satunya, orang yang mengendarai sepeda motor kala itu masuk di kampung kami. Biasanya ia ke kampung jelang liburan. Mendengar bunyi motor memasuki gerbang kampung, anak anak generasi seangakatan saya sudah bersiap siap dan mengejar motor dari belakang sambil lomba, siapa yang paling banyak menyentuh motor. Konsekwensinya, wajah kami tertutup asap knalpot. Kami bersyukur, lewat beliaulah, kami bisa mengenal dan menyentuh sepeda motor.
Kalau sebut nama lengkapnya, banyak pasti tidak kenal. Namun jika menyebutnya dengan “Jupen” pasti banyak yang kenal. Jupen yang artinya Juru Penerangan. Anak kampung yang tidak punya cita cita, namun semangat kerjanya yang luar biasa mampu menghantarnya bekerja di Jawatan Penerangan Flores Timur, menjadi seorang Jupen, hingga dinobatkan menjadi jupen teladan tingkat Propinsi NTT.
Yohanes Kopong Lamatokan, nama lengkap yang kurang familiar dibandingkan dengan sapaan Jupen. Ia lahir di sebuah dusun kecil, Dusun Lewoblolo di Desa Tuwagoetobi, persis di kaki Gunung Ile Boleng, tepat pada tanggal 15 Mei 1955. Ia adalah putra sulung dari 5 bersaudara, anak dari Bapak Petrus Tuan Laot (Alm) dan Mama Marta Tuto Wara (Alm). Di usia satu tahun, ia tinggal sendiri bersama mamanya. Bapanya memilih mencari nafka di tanah rantau, Sabah Malaysia. Masa kecil dengan mama sendiri, tentu tidak sebahagia teman teman lain, yang lengkap bersama bapa dan mamanya. Ini dirasakan oleh Ama Kopong Kolot, sapaan Yohanes Kopong Lamatokan, waktu kecil di kampung halamannya. Lewat Frans Ola Rugi (Alm) Saudara kandung dari mamanya, ia mendapat perhatian dan perlindungan, layaknya seorang bapa kandung.
Ayahnya Petrus Tuan Laot, baru kembali ke Kampung dan menemuinya bersama mamanya di saat ia sudah berusia 8 tahun dan saatnya memasuki Sekolah Dasar di Honihama yang waktu itu masih disebut dengan Sekolah Rakyat atau SR. Bangunan sekolah mereka saat itu dindingnya dari daun kelapa, sebelumnya memang ada bangunan permanen, namun terbakar dan tidak bisa digunakan lagi. Pakaian yang mereka kenakan ke sekolah disebut “kenodot” celana yang terbuat dari sarung asli Adonara. Tidak ada baju. Hanya mengenakan celana. Kaki kosong. Tidak ada buku, bolpoint tidak ada, apalagi tas. Aset mereka waktu sekolah adalah “grepe” atau batu tulis. Melalui media itu, mereka dapat menulis dan merekam semua ilmu yang diajarkan oleh guru. Mulai dari pengenalan abjad, berhitung, ilmu bumi, ilmu hewan, tumbuhan dan lain lain. Tempat duduk mereka terbuat dari belahan kayu yang dibuat memanjang. Namun semangat mereka luar biasa untuk ke sekolah.
“Saya masih ingat, Kepala Sekolah kami saat itu adalah Pa Mikhael Medhon. Setiap kelas ada guru kelas masing masing. Postur kami besar besar, karena usia masuk sekolah dasar tidak dibatasi. Siapa yang mau sekolah, bisa masuk saja kalau tangganya sudah bisa melintang di atas kepala dan menyentuh telinga. Itu adalah salah satu syarat dasar masuk SD. Di SD kelas I, kami sudah masuk dalam kelompok tani tingkat sekolah dan wajib membersihkan kebun guru setiap sore pulang sekolah. Tidak ada alasan untuk tidak kerja. Wajib hukumnya,”kata Jhon.
Selang beberapa tahun, sebelum angkatan mereka tamat, Mikhael Medhon kepala sekolah mereka diganti oleh Benediktus Boro Tura, putra Honihama, yang juga sebagai guru pertama dari rahim Honihama. Hingga tamat mereka dibawah kepemimpinan Kasek Benediktus Boro. Sebelum akhirnya tamat di bangku SD, mereka harus melewati ujian akhir yang dikenal dengan ujian tes. Di sini, tidak semua wajib lulus. Angkatan mereka tamat, tepatnya di tahun 1969.
Tamat SD, tidak ada pikiran untuk melanjutkan ke SMP. Ini disebabkan jarak tempat tinggal dengan sekolah yang jauh, kesulitan secara ekonomi, juga kesadaran akan pentingnya pendidikan yang masih kurang. Pa Jhon sendiri, memilih membuka kebun, bergabung dengan kelompok tani di kampung dan menjadi petani muda selama 3 tahun terhitung sejak 1969-1972.
10 April 1972, Jhon merantau ke Larantuka. Keluar dari Kampung Honihama dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 20km untuk bisa tiba di Waiwerang. Satu malam menginap di Waiwerang, sebelum besoknya ke Larantuka naik kapal motor. Di Larantuka, ia tinggal dengan Stefanus Sira Boli, seorang pensiunan tentara Belanda yang dikenal dengan KNIL yang merupakan bagian dari keluarganya.
Pekerjaan yang dilakukan setiap hari layaknya seorang pembantu rumah tangga. Sejak pagi, ia sudah melaksanakan tugas tugas rumah seperti menyapuh halaman, mencuci piring, memberi makanan ternak, dan lain lain. Ia lakukan dengan senang hati. Tidak ada pikiran untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Mereka bertetangga dengan orang Honihama lainnya yaitu Bapa Arnoldus Ara Kian, seorang Pensiunan Pegawai di Jawatan Sosial. Di rumah Arnoldus Ara Kian ada Wilhelmus Wayong Sodi. Lewat Wayong Sodilah, Jhon Kopong mendapat cerita dan gambaran kerja di Jawatan Sosial dan Jawatan penerangan. Wayong sendiri waktu itu sudah bekerja di Jawatan Sosial.
Selain bertetangga dengan Arnoldus Ara Kian, tetangga lain yang juga berasal dari Adonara adalah, Bapa Boleng. Ia merupakan Kepala Bagian Tata Usaha Jawatan Penerangan. Pria asal Lewopao, Adonara ini, melihat keseharian Jhon Kopong yang rajin, ia lalu menawarkan Jhon untuk bekerja di Jawatan Penerangan. “Bapa Boleng, ajak saya waktu itu bilang begini “Selama ini, saya amati, kamu adalah anak yang rajin. Kalau mau, ikut saya kerja di Kantor Jawatan Penerangan”. Mendengar ajakan ini, rasanya mustahil, karena selain hanya tamat SR, pengalaman kerja di kantor tidak ada. Perasaan saya tidak mungkin tapi faktanya benar! Di hari Senin, tanggal 1 Juni 1972, saya diterima bekerja di Kantor Jawatan Penerangan yang waktu itu Kantornya di Lokea, sekarang Asrama Tentara. Ke kantor di tahun itu, saya masih kenakan celana pendek. Pagi pagi saya adalah orang pertama yang datang di kantor. Tugas yang saya jalankan adalah, membuka pintu, sapuh, mengatur tata letak meja dan kursi, lap kaca, tempel surat, menghatar surat di kantor pos, menjemput surat dan lain lain. Ke kantor dan menjalankan tugas lain di kantor dengan berjalan kaki, belum ada bemo di Larantuka,” tutur Jhon.
Dua tahun bekerja di Kantor Jawatan Penerangan, atas informasi dan masukan teman teman di Kantor, Jhon Kopong akhirnya mendaftar dan masuk sekolah di Kursus Pegawai Administrasi (KPA). Ini setara dengan SMP. Pagi bekerja di kantor, sorenya sekolah di KPA. Di KPA, mereka diajarkan tentang manajemen, cara berkomunikasi, aljabar, berhitung dan mengetik 10 jari di mesin ketik. Gedung yang mereka gunakan adalah gedung SMP Rayuan Kelapa, yang melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi hari.
Tamat di KPA, Jhon melanjutkan sekolah ke Kursus Pegawai Administrasi Atas (KPAA) setara dengan SMA. Masuk 1977 dan tamat tahun 1979. Sejak itu, ia sudah mendapat kepercayaan dan tugas tugas keluar bertemu dengan masyarakat, mensosialisasikan aturan baru, program baru dan lain lain. “Pimpinan melihat saya punya kemampuan dan saya mendapat kesempatan ke desa desa melakukan sosialisasi aturan baru, program kerja, juga pembangunan apa yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Ke kampung, bukan tangan kosong dan sekedar berbicara. Kami membawa layar lebar, kaset VCD, dan proyektor dan memberikan penjelasan serta sosialisasi banyak hal tentang pembangunan.Kami menerangkan aturan aturan baru, perkembangan di bidang kesehatan, pertanian, perekonomian, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, sosialisasi tentang Undang Undang dan Pancasila sebagai dasar negara dan lain lain. Hampir semua bidang kami terangkan. Untuk membuat masyarakat bisa datang dan berkumpul juga tidak jenuh mendengarkan penjelasan, kami selingi dengan membuka film perjuangan, motivasi hidup, sinetron juga program program pembangunan pemerintah melalui layar lebar. Bahan yang kami tayangkan, biasanya dikirim dari Jawatan Penerangan Propinsi. Sebelum ke kampung – kampung, kami tayangkan dulu di wilayah Larantuka, di perkampungan yang mengelilingi Ile Mandiri hingga menjangkau semua desa di Kabupaten Flores Timur. Jadi, kerja kami seperti humasnya pemerintah, tapi langsung turun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat. Kami bermalam. Misalnya kami sedang di Desa A dan besoknya ke desa B, kami dijemput oleh warga desa B, yang akan membawa semua peralatan. Mereka sangat antusias. Terlebih karena mereka akan menyaksikan langsung layar lebar, “kisah Jhon.
Selain melakukan sosialisasi dan menerangkan banyak hal di masyarakat, mereka juga memberikan sumbangan Radio dan Televisi (TV, Hitam Putih) untuk warga, dalam gerakan Radio Masuk Desa dan TV Masuk Desa. “Ada syarat jika masyarakat mau menerima bantuan berupa Radio dan TV. Masyarakat yang mau dapat sumbangan radio wajib memiliki Kelompok Pendengar Siaran Pedesaan (Kelompesipedes) di desa. Sementara warga yang mau dapat TV harus memiliki Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompengcapir). Dengan syarat itu, dibentuklah Kelompesipedes dan Kelompengcapir di desa desa. Bahkan kelompok kelompok itu masih bertahan hingga sekarang. Kita berusaha untuk informasi sekecil kecilnya diketahui oleh masyarakat. Kita betul betul transparan membagikan semua informasi. Dengan hadiah radio dan TV masyarakat bisa mengikuti informasi. Pengalaman menghantar TV di desa desa, kita disambut layaknya seorang Bupati atau Wakil Bupati yang datang di sebuah desa. Warga beramai ramai membangun gapura menuliskan Selamat Datang TV. Kami disambut dengan tarian, dan dirayakan hingga berhari – hari. Penyambutan kehadiran TV di kampung kampung saat itu, seperti penyambutan pahlawan yang baru pulang perang. Warga begitu antusias. Dan kami waktu sangat terkenal. Jupen…jupen…adalah sapaan sayang dari warga untuk kami. Mereka tidak pernah memanggil nama kami yang asli. Sapaan mereka tidak lain tidak bukan yakni, Jupen!
Selain melakukan sosialisasi, memberikan sumbangan radio dan televisi, kami juga menggagas pembentukan organisasi kepemudaan, melatih teater, tarian tarian adat Lamaholot,”kata Jhon.
Maret 1982 Jhon diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) selanjutnya di tahun 1988, ditempatkan sebagai Kepala Kantor atau Juru Penerangan di Kecamatan Wulanggitang selama kurang lebih 15 tahun. Di Boru, Jhon dikenal sebagai Jupen yang mempunyai kepekaan sosial yang tinggi, cerdas dan berani. Seperti di tingkat Kabupaten, di Boru bersama warga melakukan banyak hal. Keliling dari satu kampung ke kampung yang lain, membangkitkan semangat warga untuk memanfaatkan lahan kosong, memotivasi mereka untuk membangun melalui pemutaran film inspiratif dan lain lain. “Di masyarakat, kita diterima dan sangat dihormati karena mereka merasa, apa yang mereka butuhkan dapat kita penuhi. Kami ke kampung kampung membawa kelengkapan. Di sepeda motor yang kami kendarai sudah terpasang mikrofon dan megafon. Megafon terpasang langsung dimotor dan mikrofon kami gantung di leher. Setiap hari kami keliling dari kampung ke kampung. Misalnya ada satu gejala penyakit yang menyerang warga, walau bukan orang kesehatan, kami sudah dikapasitasi untuk mampu menjelaskan.Kami punya ilmu tentang hal itu. Saya rasakan betul, layanan informasi itu, sangat penting untuk warga, “ungkap Jhon.
Tulus bekerja dan ikhlas berbagi, Jhon banyak mendapat kesempatan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pada bidang penerangan. Pelatihan yang mereka ikuti mulai di Maumere, Ende dan Kupang. Hingga pada tahun 1992, di Ajang Pemilihan Jupen Teladan tingkat NTT, Jhon Kopong terpilih sebagai Juara I Jupen teladan. Ia kemudian mewakili NTT, mengikuti Kegiatan Jambore Penerangan Nasional di Lampung.
Dengan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki, ia mengisi waktu liburannya dengan membangun motivasi anak anak muda di Honihama Desa Tuwagoetobi dan mefasilitasi pembentukan beberapa organisasi pemuda di kampung, salah satunya Karya Baru Lewoblolon yang akan merayakan ulang tahunnya ke 38 pada 17 Juli 2018 mendatang. Kegiatan di organisasi ini adalah, selain usaha dana, juga kegiatan kegiatan olahraga seperti bola kaki, bola volly, fotsal dan lain lain. Di bidang kerajinan tangan, anggota karya baru saat ini mampu menghasilkan berbagai anyaman dari bahan bahan lokal, juga memanfaatkan sampah sampah anorganik untuk menghasilkan karya yang unik dan menarik. Melalui kelompok muda ini pula, menjembatani kreasi kreasi anak muda diantaranya bermain musik dan berteater. Berkat jaringannya pula, Bapa Jhon untuk pertama kalinya mendatangkan radio dan televisi di Honihama lewat program Radio Masuk Desa dan TV masuk desa, program milik Jawatan Penerangan Flores Timur.
Tahun 2001, masa Kepemimpinan Presiden Gusdur, Jawatan Penerangan dibubarkan. Bapa Jhon dimutasi ke Infokom, selanjutnya ke Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah. 2010 dimutasi ke Dinas Perhubungan dan Pariwisata, hingga pensiun tahun 2011 di Kantor Kelurahan Lohayong, Flores Timur. Walau sudah pensiun, jasanya masih dimanfaatkan oleh Kantor Imigram Maumere, melakukan sosialisasi dan penjelasan tentang bagaimana merantau sesuai dengan aturan sehingga tidak dianggap sebagai imigran gelap.
Sejak pensiun di tahun 2011, ia menggagas terbentuknya Kelompok Tani 279 Weri di Kelurahan Weri dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sadar Tani. 2017, maju dan bertarung pada Pemilihan Kepala Desa Tuwagoetobi, Kecamatan Witihama. Berkompetisi dengan 6 pasang calon lainnya. Dikompetisi ini, ia keluar sebagai pemenang, dan kemudian saat ini memberi diri sebagai pelayanan bagi Warga Honihama Desa Tuwagoetobi.
Lewat Visi Mamase( Maju Mandiri Sehjatera) saat ini di Desa Tuwagoetobi sedang giat membangun rabat jalan, membuka lorong lorong, jalan usaha tani, sambil merampungkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) untuk siap menitik beratkan pembangunan yang dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) warga yang diyakini sebagai modal kuat pembangunan desa ke depannya.
Di hadapan beliau (Kepala Desa) kami memberi satu tawaran untuk bagaimana, anggaran desa dapat diplotkan untuk menghotmiks ruas jalan utama di dalam Desa. Tawaran ini, ia setujui karena menurutnya sudah ada wacana tentang hal ini. Apalagi kondisi seminisasi ditahun 2018, kerusakannya sudah sangat parah. Malam itu juga, saya menghubungi Manager General, Bumi Indah, Stephanus Ola Demon yang saat itu berada di Kupang dan beliau menyanggupi untuk siap bertemu dengan Kepala Desa dan warga melakukan sosialisasi untuk selanjutnya dilakukan pembangunan.
Jhon Kopong selain dikenal sebagai Jupen, Ia juga jago dalam penuturan bahasa adat Lamaholot. Dia salah satu dikenal memiliki kumpulan lagu daerah yang ia nyanyikan mengiringi sendiri dengan gambus buatannya. Kumpulan lagu yang direkam di kaset dijual di Toko toko di Larantuka saat itu. Hingga saat ini, beberapa kaset kumpulan lagunya, masih ia simpan di rumahnya.
Kisah perjuangan dan kerja Jhon Kopong, atau populernya Jupen, didukung oleh Petronela Bengan Dorok (istri) dan kelima anaknya. Kisah anak kampung yang hanya bermodalkan ijazah SR, bisa dipercayahkan untuk melakukan hal besar karena kemampuan, keterampilan dan keneranian yang dimiliki.***
maksimus masan kian