suluhnusa.com_Sumbangan terbesar kedua bagi devisa di negara ini diberikan oleh para Buruh Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Namun, masih ada yang belum tahu kalau pahlawan ‘tak dikenal’ itu harus berjuang dengan peluh, air mata dan beban psikologis jauh dari anak-anak dan suami.
Bertahun-tahun mereka berada di luar negeri, bukan untuk menyenangkan diri sendiri, mereka berjuang untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, membantu suami yang ‘pengangguran’ (maaf), dll.
Terkadang dalam kesepian dan kesendirian, mereka menelpon keluarga untuk menuangkan rasa rindu, namun terkadang pula jawaban yang diterima sangat memilukan sekaligus menyakitkan; sang suami menikah lagi, uang yang dikirim mereka habis untuk foya-foya, anak yang dirindu tatkala ditelpon marah-marah menyalahkan ibu mereka dengan perkataan-perkataan, ‘tidak bertanggungjawab’, ‘tidak sayang anak’, ‘egois’, ‘mementingkan diri sendiri’ dll.
Mereka tidak tahu kalau sang ibu di negeri seberang berpeluh lelah mencari uang demi mereka, kalau sang ibu harus menahan harga diri karena memperoleh predikat sebagai ‘babu’ diperintah layaknya ‘budak belian’ yang tak kenal jam kerja. Bahkan harus waspada terhadap majikan yang ‘psikopat’, gemar mencari-cari kesalahan hingga yang buas dan memiliki skizofrenik sex akut.
Tak jarang mereka menjadi korban kelemahan hukum negara sendiri tentang hak-hak asasi manusia dan perlindungan tenaga kerja di negeri seberang hingga akhirnya berujung pada hukuman mati. Namun ada pula yang sukses dengan jalan hidup yang mereka pilih itu.
Beban psikologis yang demikian parah kerap pula ditanggung oleh mereka yang melihat kenyataan tatkala pulang kembali ke kampung halaman, anak-anak tidak mengacuhkan atau mengenal mereka lagi, uang yang dikirim tak bersisa dan tak jelas kemana juntrungannya.
Mereka kembali harus berjuang dari nol dan terlunta-lunta tinggal dari satu rumah ke rumah lainnya serta berharap sedikit kasih sayang dari anak-anak yang ia tinggalkan untuk sekejap memanggilnya ‘Ibu’. Namun keinginan itu tak jarang hanya berlabuh di benak dan ia hanya memandang nanar tatkala anak-anak yang dilahirkannya lebih menyayangi ibu asuh, ibu tiri atau bibi-bibi yang selama ini mengasuh mereka.
Lalu, salahkan jika mereka berjuang demi keluarga dan negara ini dengan mencari peruntungan serta perbaikan nasib di negeri orang yang notabene bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk keluarga dan negaranya? Adakah perhatian khusus untuk mereka di mana hasil dari keringat yang berdarah-darah itu ia sumbangkan untuk negara melalui pajak-pajak yang pada akhirnya disedot oleh para lintah koruptor yang memangsa habis sumbangan mereka? Pertanyaan ini sampai sekarang tak pernah bisa dijawab dengan pasti.
Maka tatkala kembali salah satu dari mereka menghadapi tiang gantungan atau dihukum pancung, atau ditembak di depan regu ‘pencabut nyawa’ yang bersumber dari kesalahan kecil dan kemudian direkayasa menjadi skenario pemutarbalikkan fakta, semua mata hanya bisa memandang sedih sambil berujar, “Kasihan!” ya, hanya itu.
Sesungguhnya mereka adalah pahlawan yang pantas mendapatkan bintang jasa, sebab dari keringat yang berdarah-darah, dari tenaga yang keluar tanpa mengenal kata ‘lelah’, mereka telah berjasa besar untuk negeri ini, berjasa besar membuat rakyat Indonesia, pengusaha, para pejabat dan para koruptor memangsa habis apa yang sudah mereka berikan.
Sekali lagi ingat, mereka, para buruh migran itu adalah pemberi devisa terbesar kedua bagi negeri ini. Terbesar kedua, ingat itu! (Fanny J. Poyk)
Mereka yang berperan untuk negara berjuang dengan taruhan nyawa. Mereka yang menjadi aparat ribut dengan kursi kerakusan & libido nya. Terima kasih atas artikelnya yang menarik.
Salam.