SULUH NUSA, LEMBATA – KEINGINAN masyarakat pesisir Teluk Lewoleba dan Ile Ape menolak kehadiran Investor Budidaya Mutiara ddiduga karena beberapa informasi yang dipelintir.
Setidaknya ada tiga informasi salah yang disampaikan kepada masyarakat oleh pihak tertentu yaitu Peta, pengkaplingan ruang tangkapan dan tenaga kerja.
Hal ini disampaikan Fentje Ratu Here, Manager lokasi PT. Mutiara Adonara, kepada suluhnusa.com di Lewoleba, Jumad, 15 Maret 2024.
Fentje menjelaskan reaksi penolakan dari masyarakat pihaknya pesimis karena tidak ada edukasi yang baik. Padahal menurutnya sosialisasi sudah dilakukan oleh PT. Mutiara Adonara sejak tahun 2018.
“Kami tetap optimis sekalipun ada reaksi penolakan dari masyarakat. Kami merasa tidak puas karena masyarakat memahami hal yang keliru, semacam ada penggiringan ke hal yang salah. Jadi mestinya kami jabarkan dulu jika titik dimana tidak ada kesempatan mari kita bicarakan”, ungkap Fentje.
Menurut Fentje, PT. Mutiara Adoanara mendapat rekomendasi izin dari provinsi dengan radiusnya 2 (dua) kilometer dari Bibir pantai dan dengan kedalaman 40-60 meter.
“Areal yang menjadi lokasi budidaya adalah 2 kilometer dari sepadan pantai kedalamannya juga 40-60 meter. Masyarakat yang saat ini sedang budidaya rumput laut silakan terus dibudidaya. Kami datang tidak untuk membunuh nelayan kecil. Silakan mancing tidak ada larangan, asalkan kita saling menghormati dan menjaga”, ungkapnya.
Informasi lain yang disoroti oleh Fentje terkait peta yan digambar oleh pihak tertentu untuk mempengaruhi masyarakat. Peta yang disebarluaskan oleh pihak lain seolah seolah PT. Mutiara Adonara mengambil seluruh areal pesisir Laut dari Tanjung Kolipadan sampai Pulau Pasir bahkan sampai ke areal Teluk depan Bandara Wunopito.
“Itu salah. Menyesatkan. Izin lokasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan kepada kami bentuknya segitiga. Bukan seperti peta yang disebarluaskan. Kami juga menghargai semua aktivitas masyarakat pesisir. Arealnya tidak sampai ke pulau pasir. Dan petanya bentuk segitiga karena kehadiran kami tidak boleh menggangu aktivitas ola gerak kapal di pelabuhan Lewoleba. Sekali lagi peta yang disebarluaskan itu salah. Bahkan dalam peta itu terbaca sampai ke areal bandara itu salah. Menyesatkan dan tidak benar. Masyarakat tidak boleh dipengaruhi dengan pola pola menyesatkan seperti itu. Luas budidaya hanya 45 ha”, ungkap Fentje.
Lebih jauh Fentje menjelaskan izin dari DKP Provinsi Nusa Tenggara Timur masih melakukan ujicoba selama 4-5 tahun. Ujicoba ini akan dievaluasi oleh pemerintah untuk mengeluarkan pembaharuan izin kepada perusahaan untuk melanjutkan budidaya atau tidak.
“Ini baru tahap uji coba jika sudah berhasil baru dibuat MoU dengan pemerintah daerah namun diselah itu perusahan tidak menutup mata dengan masyarakat desa-desa sekeliling. Selama masa ujicoba perusahan tidak mendapat keuntungan tapi masyarakat mendapatkan manfaat 4-5 tahun”, tutur Fentje.
Masyarakat tentunya mendapatkan dampak positif yakni perekrutan tenaga kerja lokal dan penjaminan tenaga kerja dan beberapa dampak positif lainya tergantung kesepakatan bersama termasuk peningkatan ekonomi keluarga dan pengembangan usaha kecil menengah.
“Kita dalam MoU bersama pemerintah berkomitmen untuk menyerap 100 persen tenaga kerja lokal. Jadi informasi tenaga didatangkan dari luar oleh perusahaan adalah tidak benar. Bahkan untuk tenaga lab dan suntik juga kami rekrut tenaga lokal. Ada tranformasi ilmu dan teknologi di sana”, ungkap Fentje.
Penyesatan informasi kepada masyarakat juga terkait pengkaplingan areal tangkap nelayan.
“Saya kasih contoh. Di Alor, Teluk Mutiara, Wolwal, Kecamatan Alor Barat Laut kami hidup berdampingan dengan masyarakat. Ada rumpon didalam areal budidaya. Nelayan tradisional silakan melakukan penangkapan di dekat areal budidaya. Kami tidak menghilangkan areal tangkap nelayan”, jelas Fentje.
Berdasarkan data areal titik budidaya kerang mutiara dikeluarkan oleh DKP Provinsi hanya empat titik koordinat dengan luar 34 ha.
Fentje mengaku pihaknya masih mendapat dukungan dari masyarakat pesisir di wilayah Ile Ape dan Teluk Lewoleba. Karena baginya, Budidaya Mutiara tidak untuk membunuh nelayan kecil. Investasi ini akan menjadi alternative masyarakat kecil untuk menambah penghasilan.
“Kami optimis. Investasi ini tetap dilanjutkan”, tuturnya.
Pertemuan Sosialisasi budidaya oleh Mutiara PT Mutiara Adonata, Dinas Perikanan dan Kelautan, Camat Ile Ape bersama masyarakat Kolipadan, Jumad, 15 Maret, Pukul 16.00 di Kantor Desa dKolipadan berjalan alot dan panas.
Semua masyarakat yang hadir dalam pertemuan itu menolak dengan keras dan tidak mengijinkan pihak perusahan dan pemerintah untuk menjelaskan lebih lanjut.
Mereka semua sepakat untuk menolak dengan keras dilakukan budidaya mutiara di Teluk Kolipadan.
Padahal sebelumnya PT. Mutiara Adonara sudah melakukan sosialis kepada masyarakat di Desa Dulitukan bulan September 2023 dan kepada lima di wilayah Tanjung Kecamatan Ile Ape bulan Desember 2023.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Hadi Umar, menjelalsan bicara Budidaya ini dari sisi teknis kelautan ekologi dan ekosistem laut justru menguntungkan karena dengan hadirnya Budidaya ini sama seperti mengkonservasi kembali teluk Lewoleba ini.
“Ketika ada aktivitas investasi budidaya mutiara di teluk ini tidak ada pemboman dan racun ikan. Nanti disalah satu komitmen kita minta mereka mentransformasi karang buatan biar ekosistem bisa hidup kembali. dari sisi ekologi menguntungkan, dari sisi komitmen perusahan walaupun kita Belum tau komitmen mereka seperti apa tapi pada umumnya mereka akan berkomitmen dengan lima desa disekitar dan pemerintah daerah. Komitmen mereka terhadap penyerapan tenaga kerja, pendidikan, dan terhadap hal-hal sosial kemasyarakatan kita”, jelas Umar
Lazimnya, ungkap Umar, semua investor yang masuk untuk melakukan investasi berkomitmen baik untuk masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjaga kearifan lokal kita.
“Sedangkan terkait ijin mereka mendapatkan rekomendasi ijin dari provinsi, karena dia ini PMA dan Budidaya skala besar jadi ijin budidaya dari Jakarta. Kesan saya soal sosialisasi tadi masyarakat semua sepakat secara bulat untuk menolak”, tutur Umar.
Sependapat dengan Fentje, Umar mengungkapkan ada kekeliruan dalam sosialisasi selama ini. Masyarakat hanya di advokasi dengan informasi yang salah.
“Selama ini kita hanya melibatkan pemangku saja, kepala desa, BPD dan beberapa tokoh dan mestinya mereka menyampaikan informasi secara utuh ke masyarakat, selama ini masyarakat hanya mendengar penjelasan dari satu pihak saja sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi secara utuh. Sebetulnya perusahan ini membawa dampak positif untuk daerah dan masyarakat setempat”, tegas Umat.
Sementara itu, Majid Beda, mewakili masyarakay Kolipadan menjelaskan, mata pencaharian masyarakat Kolipadan sebagian besar nelayan.
“Kami masyarakat Kolipadan semua rata-rata nelayan, dan pada prinsipnya kami menolak dengan kehadiran perusahan ini, karena akan menggangu aktivitas kami di laut, kami sangat bergantung hidup dengan laut jadi apapun situasinya kami tetap tolak. Jadi harapan kami pemerintah bisa mengindakan segala masukan dan harapan kami masyarakat Kolipadan”, tutur Beda. +++sandro.wangak